Aku ingat dengan jelas, saat itu di tengah dinginnya malam aku berjalan menuju rumah kepala desa tanpa membersihkan bercak darah dan melepaskan belati di tangan ku.
Setibanya di sana, hal pertama yang ku lakukan adalah berkata. "Aku membunuh Chichiue dan Hahaue." aku mengakui perbuatanku pada kepala desa dengan isak tangis yang mulai keluar dari bibirku.
Kepala desa yang mendengar pengakuanku jelas terkejut dan segera dia mengirim salah satu bawahannya untuk mengecek rumahku. Dan ketika kepala desa menerima konfirmasi tersebut dan melihat mayat orang tua ku langsung di depan matanya. Ia langsung menatapku sejenak dan menghela nafas pelan.
"Kenma-chan bisakah kau memberitahu alasan kenapa kau melakukan hal ini?"
Pertanyaan yang kepala desa lontarkan membuatku bingung dan tak tahu harus menjawab apa. Tapi saat itu bibirku bergerak dengan sendirinya dan mengeluarkan perkataan.
"Aku tidak tahu."
Jawaban yang ku berikan saat itu membuat kepala desa tampak mengetahui segalanya dan dia kembali berkata.
"Aku percaya bahwa Kenma-chan melakukan ini bukan di sengaja apalagi tanpa alasan. Dan karena semua ini sudah terjadi, aku tak berhak untuk menyalahkan pihak manapun." tangan besar kepala desa berada di atas kepalaku, ia menepuk kepalaku beberapa kali seolah mencoba menenangkanku. "Dan untuk keamanan dirimu sendiri, maukah Kenma-chan ikut denganku?"
Perkataan kepala desa berhasil mengusir rasa sedih yang menggerogoti diriku. Aku menjawab pertanyaannya dengan anggukan kecil sambil menatap matanya. Tak ada rasa benci apalagi iri di mata kepala desa. Malahan terpancar rasa bersalah dan juga kasihan di matanya saat ia menatapku.
~
Kepala desa membawaku ke sebuah tempat asing yang jauh dari desa Warlington. Kepala desa menempatkan ku di sana bersama dengan dua bawahannya. Ia menyediakan sebuah rumah sederhana yang menghadap langsung pada sungai.
Setiap 3 hari sekali kepala desa akan menjengukku. Ada perasaan gembira yang bergejolak di dalam diriku setiap kali kepala desa mengunjungi ku.
Tapi suatu malam aku mendengar pembicaraan dua bawahan kepala desa yang mengatakan bahwa orang tua ku tak bisa di hidupkan kembali, bahkan dengan sihir kepala desa. Aku juga mendengar mereka mengatakan bahwa hal itu terjadi karena kekuatan sihir kepala desa tidak murni dan tidak se suci kekuatan sihir orang yang membunuh Ayahanda dan Ibunda.
Karena aku merasa tak perlu mendengarkan percakapan itu lebih lanjut, aku memilih untuk kembali ke kamarku dan terlelap.
Saat aku tengah tidur dengan nyenyak, aku mencium aroma asap yang beredar di sekelilingku. Ketika aku membuka mata, rumahku terbakar habis dan para bawahan kepala desa telah berlumuran darah.
Belum sempat aku meminta pertolongan, ada seseorang yang merapalkan mantra hingga membuatku kehilangan kesadaran.
Entah berapa lama aku terpengaruh di bawah sihir mereka, aku akhirnya berhasil membuka mataku.
Hal pertama yang ku lihat kala itu adalah ada beberapa orang berpakaian rapih dan mewah yang memandangku. Sementara diriku berada di dalam sebuah kurungan, layaknya orang yang melakukan sebuah kesalahan.
Seolah tak membiarkanku memahami situasi terlebih dahulu, orang-orang yang berpakaian mewah itu mulai menyebutkan nominal uang yang sangat tinggi.
Hingga akhirnya ada seorang siluman Harpy mengangkat tangan kanannya dan berkata.
"1.000.000.000 koin emas."
Harga yang sangat tinggi dan tepat setelah harga itu menggema, pria yang ada di sampingku segera berkata dengan lantang.
"Akhirnya siluman rubah berekor sembilan terjual di harga 1.000.000.000 koin emas!"
Suara lantang itu berhasil membuatku terkejut sekaligus heran. Dia berkata siluman rubah?
Apakah yang dia maksud adalah...
Aku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kirei Na Oiran • Kuroken
FanfictionJika ada kata selain cantik untuk menggambarkan Kenma, maka itu adalah sempurna.