7. Hilang

14 7 2
                                        

Nata menghilang.

Dia tidak bisa di hubungi kembali, tidak ada kabar sama sekali, membuatku hampir saja kesiangan berangkat sekolah karena menunggu Nata yang tak kunjung datang. Rasanya cukup kesal, tapi apa mungkin Nata kembali kesiangan dan lupa charger ponsel?

Aku tidak tahu.

Jika nanti dia mendatangi ku ketika jam istirahat, maka aku akan benar-benar marah, tidak akan luluh seperti sebelumnya, apapun itu alasan yang Nata berikan.

Lihat saja nanti, Nata Mahatma.

"Pagi-pagi wajahnya sudah negatif saja."

Aku melihat ke samping, dimana ada Tania yang baru saja datang. Memilih untuk tidak menjawab, aku memperhatikan Tania yang langsung duduk kemudian membuka tasnya. Mengeluarkan satu buku mata pelajaran, dia menatapku dengan cengiran lebar.

"Apa?" Tanya ku, padahal aku tidak sepolos itu untuk tidak memahami apa maksud dari tingkah Tania.

"Masa gak ngerti, ayolah Sarah."

"Nyusahin." Ketus ku.

Tapi itu tidak benar-benar dari hati, aku memberikan buku mata pelajaran matematika kepada Tania. Pekerjaan rumah tapi Tania seperti biasa selalu mengerjakannya di sekolah.

Ku serahkan buku pada Tania, langsung saja dia fokus pada buku dengan tangan yang sibuk menyalin jawaban. Entah sejak kapan kekuatan menulis yang dimilikinya bisa secepat ini, apa karena lima menit lagi jam pelajaran pertama akan di mulai?

"Enggak tahu salah liat atau gimana, kemarin aku liat Nata sama perempuan."

Jemariku yang tengah mengetikan pesan pada Nata terhenti, ketika Tania mengungkapkan sesuatu hal.

"Apa?" Tanyaku, berharap kalau aku salah dengar.

"Jam berapa?" Tanyaku

Karena kemarin aku jalan bersama Nata, menghabiskan waktu sore di taman, setelah menjelang malam kami pu—

"Sekitar jam tujuh malam."

—lang.

Sekitar pukul tujuh malam aku bahkan sudah sampai rumah dan baru selesai mandi.

"Salah lihat kali." Aku mencoba untuk tenang.

"Enggak mungkin kalo salah lihat." Tania menutup bukunya kemudian tatapannya melihat ke arah ku.

"Dia masih pakai baju sekolah."

Memang benar, kemarin kami masih pakai baju seragam sekolah. Jadi setelah mengantarku pulang, Nata tidak langsung pulang ke rumah nya?

Pikiran negatif mulai berkelana ke sama ke mari, apa mungkin yang aku pikirkan ini benar?

Mengurungkan niat untuk kembali bertanya, karena guru mata pelajaran matematika sudah masuk ke dalam kelas.

Bohong kalau aku tidak kepikiran, apa ini yang membuat sikap Nata kemarin sedikit berbeda? Tapi kenapa? Nata ada masalah? Atau sikap Nata kemarin menunjukkan kalau dia sudah punya seseorang.

Aku, harus bagaimana?

Apa ini saatnya aku menjauh?

Ahh rasa-rasanya aku ingin menangis saja.

Secara diam-diam aku mengetikan pesan kepada Nata. Entah seberapa panjang, katakanlah aku seperti wanita murahan. Jujur aku tidak ingin satu-satunya tempat bersandar menghilang, kalau itu terjadi mungkin aku sudah tidak punya alasan lagi untuk hidup.

"Sarah Syafira."

"Kerjakan di depan soal nomor tiga."

"Sedari tadi kamu tidak memperhatikan."

Whitout You (SUDAH TERBIT DI TEORI KATA PUBLISHING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang