"Nona... Hilda?"
Suara lembut serak yang memanggil namanya itu membuat Hilda menolehkan kepalanya secara spontan. Gadis itu membulatkan kedua matanya melihat sosok Nigellus dengan pakaian longgar yang rapi namun terlihat kurang pantas dikenakan di depan seorang gadis sepertinya, ditambah ada anak kecil juga, Sophia.
Hilda mengedipkan kedua matanya, kedua pipinya bersemu ketika tanpa sengaja kedua matanya memandangi lekukan tulang selangka Pangeran Kedua yang indah. Gadis itu cepat-cepat menunduk dan memberi salam.
Di sisinya, Sophia menciutkan diri. Gadis cilik itu masih terlihat ketakutan melihat saudara keduanya yang terlihat pucat. Menyadarinya, Hilda mengulas senyum lembut, dan mengelus punggung gadis kecil itu.
"Tidak mau memberi salam pada saudara anda?" tanyanya lembut.
Iris kelabu Nigellus beralih memandang adiknya yang menyorot takut namun penuh rindu dan kesenangan kepadanya. Pemuda itu tanpa sadar mengulas senyum teduh, menekuk salah satu lututnya.
Pangeran kedua itu berlutut, mengulurkan kedua tangannya untuk membujuk adiknya agar memeluknya.
"Tidak mau memelukku, Sophie?"
Sophia mengedipkan kedua mata bulatnya yang berair. Gadis cilik itu bolak-balik memandangi Hilda dan kakak keduanya. Gemas, Hilda terkekeh kecil. Gadis itu membukungkuk untuk membisikkan kalimat pendukung.
Sophia yang kebetulan mengenakan sepasang sepatu besar milik Hilda menyerahkan kelincinya ke pelukan Hilda. Lalu gadis cilik itu melangkahkan kedua kaki mungilnya yang berbalut sepatu besar dengan perlahan.
Semakin mendekati Nigellus, kedua mata bulat Sophia semakin banjir air mata. Berakhir gadis itu meraung di dekapan kakak keduanya. Kedua tangan kecilnya memeluk erat leher pucat Nigellus. Tangisan si kecil membuat Nigellus mendesah lembut, merasa bersalah karena dirinyalah penyebab adik kecilnya menangis.
Pangeran kedua itu dengan lembut melingkarkan kedua lengannya yang kurus ke sekeliling tubuh adiknya, menopang kokoh tubuh mungil adiknya di pelukannya sembari meluruskan lututnya, dan melangkah mendekati Hilda.
"Terimakasih, kata bibi pengasuh yang kebetulan bertemu denganku tadi, Sophia tidak sengaja melihat kondisi terburukku waktu bulan purnama. Dia melihatku terbangun tanpa kesadaran dan muntah darah. Sepertinya hal ini yang membuatnya ketakutan setiap kali melihatku atau melihat kamarku."
Hilda mendengarkan penjelasan Nigellus dengan tenang meskipun jantungnya terasa berdebar. Gadis bersurai cokelat kemerahan itu masih merasa khawatir akan kemungkinan dirinya yang tidak sengaja menyinggung Nigellus ketika di hutan istana.
Namun sepertinya Nigellus memang pangeran yang lembut dan santai. Sosoknya tidak terlalu mempedulikan tata bahasa yang membuatnya mudah bergaul dengan siapa saja. Pemuda itu hanya menggunakan tata bahasa ketika berhadapan dengan utusan asing ataupun orang diluar wilayah kerajaannya.
Karena terlalu lelah menangis, Sophia terlelap nyaman di bahu Nigellus. Putri cilik itu terlelap dengan wajah sembab dan bengkak, terlihat menggemaskan namun menyesakkan.
Hilda mendesah, mengelus lembut kelinci di pelukannya yang baru saja mendapatkan perawatan dari dokter istana.
"Kalau boleh tahu... Anda ingin kemana, pangeran?" tanya Hilda hati-hati.
Nigellus yang mengelus lembut punggung adiknya mengeluarkan dengungan lembut, mengangkat pandangannya untuk menatap Hilda teduh. Seulas senyum terlukis di wajahnya yang masih pucat namun terlihat lebih baik.
"Ibunda Ratu ingin bertemu denganku, " jawabnya lembut, "Nona sendiri.. bukankah tadi membersamai Pangeran Sigmund?" sambungnya penasaran. Kedua kelabu di matanya tampak berkilat aneh ketika memandangi Hilda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Werewolf Story
Fantasy[slow update, tidak pasti] Hilda mengingat betul bahwa manusia serigala hanya bisa memiliki satu pasangan untuk seumur hidupnya. Tapi mengapa putra mahkota yang merupakan tunangannya sekaligus matenya sering menyibukkan diri dengan gadis-gadis lain...