Nine

134 12 6
                                    

Di sudut apartemen Novia, Salma duduk termenung, pandangannya terpaku pada segelas teh yang nyaris tak tersentuh di meja di depannya. Apartemen itu tampak hangat dan nyaman, dihiasi dengan tanaman hijau kecil dan bantal warna-warni yang menambahkan sentuhan hidup. Namun, bagi Salma, suasana hangat itu tak cukup untuk menenangkan pikirannya yang tak henti-hentinya berputar.

Ia sudah duduk di sini selama hampir dua jam, tapi masih tak bisa mengabaikan pikiran yang menari-nari di kepalanya sejak menerima pesan tawaran kolaborasi dengan Rony. Perasaan ragu, bingung, dan sejujurnya sedikit takut melingkupinya, membentuk dinding-dinding tipis yang membuatnya sulit untuk memutuskan. Bersama Rony berarti menggali kembali kenangan lama, membuka ruang untuk sesuatu yang ia kira sudah tertutup rapat.

"Apa sih, lo dari tadi melamun mulu?" tanya Novia, sambil mengunyah camilan dan memandang Salma dengan penasaran.

Salma tersentak, menurunkan ponselnya ke pangkuan. "Hah? Nggak kok. Gue nggak melamun," elaknya sambil tersenyum tipis.

Novia menaikkan alis, jelas tak percaya. "Nggak usah pura-pura, deh. Dari tadi gue ngomong, lo iya-iya aja tapi nggak nyimak sama sekali. Ngaku, lagi mikirin apa?"

Salma menghela napas, lalu tersenyum lelah. "Nggak ada apa-apa, cuma... ya, ada proyek yang lagi gue pertimbangin."

"Oh ya? Proyek apaan tuh, sampe lo kayak nggak fokus gini?" Novia menatapnya dengan tatapan penuh selidik.

Namun, sebelum Salma bisa menjawab, ponselnya tiba-tiba berdering. Nama yang muncul di layar membuatnya terdiam sesaat - Rony. Rasanya seperti ada sedikit getaran di hatinya, campuran antara ragu dan penasaran. Akhirnya ia menerima panggilan itu sambil menghela napas ringan.

Salma menarik napas sebelum bersuara. "Halo?" suaranya terdengar biasa, meski sedikit ragu.

Di ujung sana, terdengar suara lembut Rony, "Sal, nggak apa-apa kan nelepon sekarang? Lagi sibuk, nggak?"

Salma tersenyum tipis, mencoba mengusir kecanggungan yang terasa. "Enggak juga. Eh, tapi tumben nanyain dulu, Lo, Biasanya langsung menyelonong aja" katanya sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.

Rony membalas tawanya. "Yah, siapa tau, kalau cuma kirim pesan mungkin bulan depan baru di bales. Maklumlah, artis sibuk."

Keduanya tertawa bersama, seolah melupakan sedikit kecanggungan di antara mereka. Setelah hening sesaat, Rony menarik napas, suaranya terdengar lebih serius saat dia mulai menyinggung soal proyek kolaborasi mereka.

"Sal," panggil Rony pelan, lalu suaranya kembali terdengar lebih serius. "Gini, Sal... soal proyek kolaborasi itu. Lo, gimana? Udah kepikiran belum?"

Salma menghela napas panjang. "Gue masih bingung, Ron. Bukan nggak mau, cuma ya… gimana ya, banyak yang harus gue pikirin."

Rony mengangguk pelan, meski tahu Salma tak bisa melihatnya. "Ya, gue ngerti. Kalo lo masih ragu, nggak apa-apa. Gue nggak mau lo ngerasa nggak nyaman. Tapi kalau lo mau, kita bisa ketemu buat bahas ini lebih lanjut?"

Salma ragu, tapi tahu mereka memang perlu mendiskusikannya. Ia menjawab dengan suara yang pelan, bahkan hampir berbisik, "Eh, boleh sih. Tapi gue lagi di apartemen Novia sekarang."

Rony tertawa pelan, "Lagi ngumpet di sana ya? Kapan kira-kira kita bisa ketemu?"

"Hmm… gue sih bisa aja pulang bentar lagi," jawab Salma, "kalau lo juga nggak sibuk."

"Bawa mobil nggak, Sal?" tanya Rony, sedikit khawatir.

"Enggak, gue dianterin Novia, kok," jawab Salma santai.

Rony berpikir sejenak, lalu menawarkan, "gimana kalau gue aja yang jemput? Biar gak repot Novia lagi,"

Salma menolak dengan halus, "Nggak usah deh, Ron. Kebetulan Novia juga mau sekalian jalan, nggak repot kok."

Tiba-tiba Novia menyahut dengan penuh semangat, "Udah, jemput aja dia, Ron! Hemat juga bensin gue!" serunya sambil tertawa, cengiran khasnya yang penuh percaya diri.

Rony terdengar tertawa di ujung telepon. "Jadi gimana, Sal? Gue jemput aja, ya?"

Salma menatap Novia dengan tatapan sebal, namun akhirnya ia pasrah juga. "Oke, deh, Ron. Jemput gue aja."

"Oke, tunggu aja ya. Gue bakal sampai sana sebentar lagi."

Setelah panggilan berakhir, Salma mendesah panjang, kembali menatap Novia dengan rasa kesal. "Lo ya, Nop, suka aja ngejatohin gue kayak gini."

Novia tertawa, memukul bahu Salma pelan. "Ah, lo tuh kebanyakan mikir! Biarin aja, siapa tau beneran ada jalan yang lebih baik buat lo sama Rony."

***

Sementara itu, Rony masih duduk di kafe, ditemani sang manajer, Bang Alif, dan kakaknya, Bang Jon. Baru saja usai dengan pembuatan video endorse dari sebuah brand. Setelah menutup telepon, senyum Rony tak bisa disembunyikan.

Bang Jon meliriknya sambil mengangkat alis. "Eh, senyum-senyum kenapa lo?"

Rony cuma mengedikkan bahu sambil berdiri, meraih kunci mobilnya. "Bang, take videonya udah kan? Gue mau cabut dulu, ya.”

Bang Alif mengerutkan kening. "Kalau gue bilang belum selasai, pasti Lo bakalan minta tunda juga, kan?" Kata bang Alif setengah menyindir, "mau kemana, Lo?"

"Ada urusan penting, menyangkut karier dan... Tau sendirilah Lo pada," jawab Rony sambil tersenyum penuh arti.

Bang Jon saling pandang dengan Bang Alif, lalu menepuk bahu adiknya. "Iya, iya. Udah lah sana pergi, good luck, bro."

Begitu Rony keluar, Bang Alif menatap bang Jon sambil mengangkat bahu, "benar-benar deh tuh anak,"

Bang Jon mengangguk paham, lalu berkomentar dengan nada penuh arti. "Kayaknya kali ini beda, ya? Selama ini gue nggak pernah liat Rony seberusaha ini buat deketin seseorang."

Bang Alif tersenyum, menatap pintu yang baru saja di lalui Rony. "Iya kelihatan banget. Kali ini kayaknya dia beneran jatuh cinta."

Keduanya tertawa kecil, saling memahami bahwa mungkin, bagi Rony, Salma adalah sosok yang bisa membuatnya berjuang lebih dari biasanya.

Kembali pada, Rony.

Dalam perjalanan menuju apartemen Novia, Rony merasa jantungnya berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia sudah menghubungi Novia sebelumnya untuk mendapatkan lokasi tepat apartemen itu, dan ternyata tidak terlalu jauh.

Saat berhenti di lampu merah, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Salma.

Salma Salsabil:
Lo tunggu di mobil aja ya, Ron. Di sekitar sini lumayan ramai, takut ada yang liat, ntar salah paham.

Rony tersenyum, lalu mengetik balasan singkat: "Siap, gue tunggu di mobil. Take your time. Gak usah buru-buru."

Rony memasukkan kembali ponselnya ke saku, menghela napas panjang sambil tersenyum. Ada rasa antusias yang sulit disembunyikan, meski ia tahu perasaan ini mungkin tak sepenuhnya terbalas. Setidaknya, kali ini ia punya kesempatan untuk mendekat lagi, walau dengan perlahan.

Sesampainya di apartemen Novia, Rony memarkir mobilnya sedikit jauh dari pintu utama gedung, memilih area yang tak terlalu mencolok. Ia melihat sekeliling, memastikan situasi cukup aman dan tidak banyak orang yang memperhatikannya. Ia tak ingin membebani Salma dengan rumor atau perhatian berlebihan.

Tak lama, pintu apartemen terbuka, dan ia melihat sosok Salma yang berjalan mendekat, dengan langkah pelan namun penuh keraguan. Wajahnya terlihat canggung, tapi senyuman tipis menghiasi bibirnya.



🌵🌵🌵

Hellow.
Welcome back to the story!!
Apa kabar geng? Semoga sehat ya.

Makasih ya, support kalian buat cerita ini. I am moved. Semoga hal baik, balik lagi pada kalian.

See you next chapter, Babay vren!!

Restu Semesta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang