46. Istikharah

139 26 1
                                    

"Jadi kapan kita nikahnya?" tanya Aina dalam perjalanan pulang ke rumah setelah habis tiga porsi bakso. Tangannya menenteng bungkusan berisi 4 buah es teh di kanan dan 4 porsi bakso di kiri untuk oleh-oleh di rumah Bulik Habib  Sementara Habib juga membawa juga es teh dan bakso untuk bawa ke rumahnya sendiri. Karena mereka belum menikah, ayah Habib menitipkan Aina untuk tidur di rumah Bulik mereka. Selain untuk menjaga diri dari fitnah. Rumah Bulik Habib juga lebih nyaman karena lantainya keramik dan ada kipas angin di kamarnya.

"Aku nggak nyangka kamu makannya banyak padahal kurus," kata Habib yang masing takjub dengan porsi makan calon istrinya.

"Hehe, aku diet tahu. Terus jadinya kita nikah kapan?"

Habib meringis. Nggak nyangka Aina tetap kembali ke pertanyaan yang membuat jantungnya deg-degan. Padahal Habib sudah mengalihkan pembicaraan tapi nggak mempan.

"Enaknya kapan?"

"Bulan depan?"

Tawaran Aina yang terlihat polos itu membuat Habib ternganga.

"Serius? Apa tidak terlalu cepat?"

"Kenapa harus menunda-nunda niat baik?"

"Ai, kamu yakin? Kamu belum mengenal aku terlalu dalam. Bagaimana jika nanti kita tidak cocok? Bagaimana jika nanti kamu kecewa?"

"Ibuku pernah bilang. Suami isteri itu tidak ada yang benar-benar cocok. Tapi harus ada usaha dari kedua belah pihak untuk saling mencocokkan. Yang penting kita sebagai organisasi punya visi dan misi yang sama agar kita bisa mencapai tujuan bersama. Kita bisa saling mengenal setelah menikah."

Habib termenung mendengar ucapan dari Aina yang masuk akal seperti itu. Namun sesungguhnya hati Habib masih ragu. Bisakah dia dan Aina dua orang yang bagai bumi dan langit ini bersatu?

"Gimana?" tanya Aina sekali lagi karena melihat Habib yang masih saja bimbang.

"Aku akan shalat istikharah malam ini. Jawabannya aku beri besok ya."

"Oke. Sampai besok ya."

"Selamat malam, Ai."

"Selamat malam."

Aina melangkah riang sambil tersenyum dalam hati. Entah bagaimana dia yakin Habib akan menyetujui keinginannya untuk menikah secepatnya. Kalau tidak sekarang, mungkin saja Habib akan segera berubah pikiran. Itulah yang Aina takutkan. Maka malam ini Aina juga akan melaksanakan shalat malam untuk memperkuat peletnya. Semoga esok Habib memberikan jawaban yang menggembirakan.

Aina menyapa paklik dan Bulik Habib yang menyambutnya dan mempersilahkannya untuk istirahat. Aina rebahan di kamar dan memeluk guling dengan senyuman lebar.

"Kawin! Kawin! Bulan depan aku kawin! Kawin! Kawin! Tidur ada yang nemenin! Kawin! Kawin! Status di KTP nanti jadi kawin!"

Aina bersenandung lagi Project pop dengan riang gembira. Telepon berdering. Ternyata ibunya yang menelepon.

"Nana, bagaimana calon mertuamu?" tanya ibunya kepo.

"Beliau orang shaleh, Bu. Sering jadi imam dan guru ngaji di mushola keluarga."

"Alhamdulillah, jadi kapan kamu nikahnya?"

"Insya Allah bulan depan Bu. Doakan ya."

"Pasti, Nana. Ibu selalu mendoakan putri-putrinya. Semoga kamu bahagia ya Na."

"Iya, Bu. Aku pasti bahagia."

Setelah itu mereka mengobrol beberapa hal lain selama hampir satu jam. Aina akhirnya menguap lebar. Dia pamit untuk mengakhiri panggilan dan istirahat. Aina tertidur dengan senyuman indah di wajahnya untuk menyambut kehidupan baru yang akan dia jalani setelah ini. Aina tidak tahu apa yang akan terjadi di depannya tapi ia yakin apa pun yang terjadi dia pasti bisa menghadapinya asalkan bersama Habib.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Terpaksa Menikahi Dokter 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang