Aroma harum masakan membangunkan Ezra dari tidurnya. Matanya terbuka setengah. Lampu ruang tengah telah dimatikan, digantikan oleh cahaya matahari yang masuk lewat pintu kaca. Ezra berusaha untuk duduk. Selimut yang dikenakan sampai jatuh. Seingatnya semalam ia tak mengambil selimut. Ia menduga Sarah berbaik hati menyelimutinya.
“Morning,” sapa Sarah sambil meletakkan segelas air di atas meja kopi. “Aku sudah membuat sarapan. Oh, ya. Kamu mau minum teh atau kopi?”
“Tak perlu membuat minuman hangat. Nanti aku buat sendiri.” Ezra meregangkan otot-ototnya. “Kamu buat sarapan apa? Sepertinya aku kehabisan bahan makanan di kulkas. Aku belum belanja sejak kembali ke sini.”
“Kau masih punya beras. Jadi aku menanak nasi. Lalu punya telur, mentega, bawang merah, bawang putih, pada bubuk juga. Aku membuat nasi goreng telur.”
“Boleh aku makan sebelum mandi?” tanya Ezra sambil tersenyum. “I’m starving.”
“Boleh.” Sarah bangkit dari duduknya. Ia menuju ruang makan. Ezra mengekor sambil membawa gelas airnya. Ketika Ezra duduk, Sarah membagi dua nasi goreng buatannya. Tentu saja porsinya lebih banyak untuk Ezra.
“Kau makan sedikit sekali,” komentar pria itu saat melihat isi piring Sarah.
“Aku tak bisa makan banyak saat pagi hari.”
“Oke. Kamu harus coba sarapan nasi kuning di dekat pintu masuk kompleks perumahan yang dulu di tempati ayahmu. Nasi kuningnya enak. Wangi dan gurih. Lauknya orek tempe kering, telur dadar yang dipotong memanjang tipis, dan kentang Mustafa. Gorengannya selalu hangat kalau kamu datang di awal-awal buka,” cerita Ezra, kemudian ia ingat sesuatu. “Aku punya peyek kacang. Sebentar.”
Ezra membuka koper besarnya. Sebuah stoples berisi peyek kacang keluar dari sana. Senyumnya mengembang saat membuka stoples itu dan meletakkan di atas meja makan.
“Kamu enggak alergi kacang, kan?” Ezra menatap Sarah.
“Enggak.” Sarah menyantap nasi gorengnya. Ia menatap Ezra yang sangat lahap menikmati sarapan. “Semalam aku tidak bisa tidur.”
“Kenapa?”
“Obrolan kita yang terakhir membuatku tidak enak hati.”
“Oh, itu. Jangan pikirkan lagi. Aku tidak apa-apa. Aku bahkan bisa tidur nyenyak.” Ezra tersenyum lebar.
Sarah tahu jika Ezra berbohong. Sarah keluar dari kamar untuk mengecek keadaan Ezra setelah satu jam mereka berhenti bicara. Ia membawakan selimut dan ketika memasangkan selimut itu ke tubuh Ezra, ia melihat bantal Ezra basah mulai bagian dekat mata. Matanya juga terlihat lembap. Mungkin Ezra memang tidur nyenyak. Tidur nyenyak setelah menangis.
“Aku membaca buku dari rak buku di kamarmu.”
“Oh.” Ezra menatap Sarah.
“Aku melihat selembar foto kau dan ayahku yang dijadikan sebagai penanda halaman. Itu dari photo booth, ya?”
“Ya. Kenangan saat di Bogor.”
“Kau masih menyimpan kenangan mantanmu. How cute,” puji Sarah. “Kau benar-benar mencintai ayahku.”
“Ya. Begitulah adanya. Tapi hidupku berantakan, jadi minder untuk mendekatinya.”
“William cerita padaku, dia sudah bisa menerima jika kalian menjalin hubungan. Sepertinya aku juga bisa menerima hubungan kalian. Apa kalian berencana menikah?”
Ezra mengernyitkan dahi. Dalam hati ia bertanya kenapa Sarah masih bisa menerima Ezra setelah banyak hal buruk terjadi dalam hidupnya?
“Sepertinya tidak akan ada pernikahan. Kami punya alasan masing-masing untuk tidak menikah. Cukup sebagai teman mesra saja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
His Love 3 🌈
RomanceApakah kau akan terus mencintai seseorang yang punya masa lalu sangat buruk?