00

1.8K 220 34
                                    

"Meydi Zaretha dari dulu mukanya masih kayak gitu aja, ya."

"He'eh, padahal sekarang udah umur 40-an, masih singset aja lagi itu badan."

"Ya, namanya juga orang banyak duit, Bu. Harga sekali perawatannya aja gaji kita setahun."

"Ah, tapi buat apa cantik, sampe sekarang belum kawin-kawin dia, ngejar karir terus. Kata saya mah buat apa ya, sampe segitunya sama karir, mau sampe kapan gitu ngejar karir."

"Dia, kan, emang gak mau nikah, udah jadi pilihan hidupnya, katanya no married-child free gitu."

"Alah, nyesel nanti kalo udah tua, kesepian sendiri."

"Eh, tapi pernah ada berita dulu pas awalan terkenalnya. Kan, dia ngilang tuh, katanya itu karena dia dinikahin sama aki-aki konglomerat."

"Wah, udah lama banget itu. Saya masih ngikut nonton TV di tetangga pas sinetron dia pertama booming. Meydi juga masih muda banget waktu itu. Pernah denger juga saya gosip itu. Ah, tapi masa, waktu itu Meydi kayaknya masih anak gadis banget, gak mungkin mau sama aki-aki."

"Eh, kalo konglomerat mah aki-aki juga gak pa-pa, Bu, tinggal tungguin mati, harta milik kita semua, pinter dia."

Helaan napas keluar dari mulut salah satu murid yang sedang berjajar di depan salah satu meja guru.

"Kenapa, Harvi? Kamu menganggap ancaman saya lelucon? Sekali lagi kalian bikin ribut di luar sekolah, saya bakalan bener-bener ngajuin surat D.O buat kalian ke kepala sekolah. Dihukum udah gak ada takutnya. Sekarang balik kelas sana! Sakit kepala saya ngurusin kalian terus."

Keempat siswa itu memutar badan kemudian melangkah keluar dari ruangan guru.

"Bang, gimana nih, balik sekolah nanti, kan, kita ada undangan dari STM Merah Putih."

Salah seorang siswa yang terlihat lebih matang dari keempat orang itu tampak berpikir.

"Gue butuh jalan-jalan. Lo bertiga masuk kelas duluan aja, gue mau cari angin dulu," katanya, tidak memberikan jawaban yang dibutuhkan karena pikirannya sedang tidak bisa diajak ke arah sana.

Tanpa menunggu jawaban, orang itu berbelok ke arah jalan menuju gerbang sekolah. Kebetulan sekarang masih jam istirahat, gerbang depan biasanya dibuka.

-

"Child free? Lah, selama ini gue apaan? Bangkotan-bangkotan gini juga gue masih kategori Child!"

Pemuda dengan seragam berbalut hoodie hitam itu menendang-nendang kerikil jalanan. Kakinya terus melangkah dengan decihan yang berkali-kali keluar dari bibirnya, apalagi saat muncul ingatan tentang gosip-gosip artis yang sering lewat di beranda akun sosial media-nya.

"Harvi!"

Kepalanya menoleh.

Saung tempat penjual pecel lele yang belum buka, di siang hari itu dihuni oleh para bapak-bapak.

"Eh, Mang, lagi ngapain di situ?"

Dan ada salah satu yang dia kenal.

"Maen lah, Vi, sini, gocapan," sahut seorang bapak-bapak yang dia panggil dengan sebutan 'Mang'.

Oh, lagi menjudi ternyata mereka.

HARAM!!!

"Cepean juga ayok," katanya sembari membelokan langkah menuju saung itu.

-

"Nama?"

"Harvi. Nulisnya H-A-R-V-E-Y, Pak, dibacanya Harvi."

"Ribet banget. Nama lengkap?"

"Harvey Parker"

"Jangan becanda."

"Saya gak lagi becanda. Bapak gak percaya? Nih.... "

Dirogohnya saku celana, mengambil Kartu Tanda Penduduk-nya dari dalam dompet kemudian meletakan di atas meja.

"KTP saya," tekannya.

Pria paruh baya berseragam cokelat itu mengambil KTP yang diletakan oleh anak sekolah yang tercyduk sedang berjudi dengan bapak-bapak di waktu jam sekolah.

"Kamu anak SMA, kan?"

"Iya."

"Gak naik kelas berapa tahun kamu?"

"Dua tahun doang," sahut si pelajar dengan santai.

Polisi itu geleng-geleng kepala sembari mendecak-decak.

"Gak naek kelas, judi. Mabok oplosan juga kamu?" tuduhnya.

Gelengan polos menyahut tuduhan itu.

Dari arah pintu masuk, seorang pria menghampiri dengan langkah lebar.

"Maaf, Pak, saya walinya."

Bibir pemuda SMA kelewat usia itu tersenyum lebar.

Lolos.

-

"Astagaaa!!! Naek nih darah gue. Bisa stroke di usia muda kalo gini mulu. Demi apa, gue ninggalin kerjaan cuma buat ngebebasin lo dari kantor polisi karena ketangkep lagi judi. Harvii--Ah, gue gak bisa berkata-kata dah."

"Om, buat kesekian kalinya gue mau protes soal nama belakang yang lo kasih. Parker... yang bener aja, Om. Gue diketawain setiap kali perkenalan, di mana pun, padahal penulisan nama depan gue udah keren Harvey. Ck, tapi gara-gara si Parker, mereka kiranya keluarga gue pemuja Spiderman."

"HARVI!"

"Argh... Om--"

Seiring dengan bentakan nyaring penuh emosi itu, pemuda yang dipanggil Harvi menunduk dengan kening mengkerut dan tangan yang terangkat mencengkram dada.

-
-

🌱

Bocah Tua penjuDi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bocah Tua penjuDi

🥰

BoTuDiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang