Enam

2 0 0
                                    


ENAM

(Cerita ini hanya fiksi yang sengaja dibuat untuk hiburan semata. Jika ada kesamaan nama, tempat, dan kejadian; merupakan ketidaksengajaan. Bijaklah dalam meninggalkan jejak.)

.
.
(Maaf untuk semua typo yang bertebaran)
.
.

☆I'M ON YOUR SIDE☆

"Di tunda?" Bom menatap bingung dan setengah marah pada ayahnya, "Wae?"

Jinsook menghela napas pelan, "Kau tiba-tiba akan menikah dalam waktu dekat, jadi aku rasa akan lebih baik jika pergantian dan pengesahan namanya dilakukan setelah pernikahanmu saja."

"Appa..." protes wanita itu, "Tidak seperti itu janji yang Appa katakan waktu itu."

"Aku tahu. Tapi masalah ini juga tidak semudah mengganti nama dalam daftar kerja. Harus diadakan meeting dengan para pengacara yang berwenang. Prosesnya juga membutuhkan waktu."

"Memang benar. Dan semua itu bisa dilakukan dalam satu waktu. Aku bisa menghandle semua pekerjaanku."

"Kita lakukan itu setelah pernikahanmu," sahut Jinsook cepat, "Ini keputusanku."

"Appa..." protes Bom dengan nada suara mulai naik.

"Lagi pula acara kalian juga tidak lama lagi. Kau bisa menunggu begitu lama sampai hari ini, hanya menunggu beberapa waktu lagi apa susahnya?" ucap pria yang mulai keriput tersebut, "Apa itu terlalu berat untuk dilakukan?"

"Eo!" sahut Bom kesal, "Selama ini aku sudah bersabar dengan semua persyaratan yang kalian sebutkan. Aku melakukan semua yang kalian inginkan. Kuliah di luar negeri, bekerja di perusahaan keluarga, mengatasi masalah di Belanda dan bahkan sampai menikah muda. Aku melakukan semuanya, tapi..." Bom menghela kecil, ia menjilat bibirnya, "Sekarang apa lagi? Apa lagi yang kalian inginkan?"

Jinsook tidak menjawab. Dia bahkan tidak menatap anak perempuan satu-satunya yang saat ini sedang marah. Seolah hal itu bukan sesuatu yang penting baginya.

Sadar akan keacuhan sang ayah, Bom menegakkan tubuhnya. Menarik napas dalam dan menghembuskannya pelan seraya mengangguk. Ia menyunggingkan senyum masam menatap sosok pria setengah tua yang selalu ia hormati selama hidupnya. Tanpa berkata-kata lagi, Bom bangkit membawa tas jinjingnya. Berjalan keluar dengan wajah tanpa ekspresi yang menunjukkan perasaan seakan ia tidak terpengaruh dengan keputusan ayahnya. Walau sebenarnya ia sangat ingin membanting semua benda di dekatnya.

Bom berjalan melewati lantai ruangan ayahnya dengan wajah terkesan kaku; tidak memberi respon sedikit pun pada karyawan yang menyapanya sopan. Genggamannya pada tali tas mengerat hingga buku-buku tangannya memutih kala di arah berlawan terlihat Jichan dan Yeonhee sedang berjalan berdampingan, tampak santai dengan senyum riang keduanya.

"Oo? Bom-a..." sapa Yeonhee yang pertama kali melihat dan menyapanya.

Bom yang masih diselimuti amarah tidak meresponnya walau hanya sekedar senyum kecil. Ia bahkan tidak menggulirkan bola matanya pada mereka.

"Kau baru dari ruangan Abeonim?" Yeonhee menahan lengan Bom hingga mau tak mau Bom berhenti di samping wanita itu.

Bom menghela pelan dan tanpa menoleh ia berkata, "Aku sibuk. Lepaskan."

"Kau terlihat tidak baik-baik saja, apa ada masalah?"

"Kubilang lepaskan!" Bom menghentak lengannya keras.

Tanpa sengaja hal itu membuat tangan Yeonhee yang menahan lengannya terlepas, tubuhnya juga itu terhentak kecil yang mengakibatkan kopi di tangan satunya tumpah mengenai pakaian Yeonhee. Hal itu sempat membuat riuh antara Yeonhee dan Jichan sampai akhirnya pria itu menatap Bom kesal.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 18 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Chosen OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang