Habib menyeka keringat. Matahari sudah naik ke atas ubun-ubun dan cahayanya mulai terasa terik. Dia tengah membantu ayahnya untuk memotong rumput sawah milik paklik. Salah satu dari warisan kakek buyutnya yang masih tersisa.
Setelah shalat istikharah semalam Habib belum juga mendapatkan jawaban atas pertanyaannya. Apakah dia bisa segera menikah bulan depan seperti yang Aina inginkan? Apa tidak terlalu cepat? Mereka bahkan belum saling mengenal dengan baik. Habib masih ragu dan bimbang. Karena itulah dia bangun pagi-pagi dan kabur bersama ayahnya ke sawah untuk menghindari bertemu dengan Aina.
Namun apa daya, Aina terlihat dari kejauhan sedang berjalan bersama adiknya Nisa sambil membawa keranjang. Entah apa yang mereka bicarakan tapi mereka tertawa dengan ceria. Mereka terlihat sangat akrab padahal baru bertemu kemarin. Nisa yang melihatnya melambaikan tangan dan berteriak.
"Mas! Abah! Makan dulu!"
Celaka! Habib mau kabur ke mana lagi? Dia tidak bisa lari. Terpaksa Habib mengikuti ayahnya menghampiri Nisa dan Aina. Mereka menggelar banner milik calon kepala desa yang gagal sebagai alas duduk di bawah pohon yang rindang.
"Alhamdulillah, lauknya apa nih?" tanya Abah antusias. Netranya terkejut tatkala melihat gurami bakar yang dikeluarkan oleh Nisa.
"Wah, tumben mewah sekali makanan kita? Bisanya cuman tempe, peyek sama Sego jagung."
"Ini Kak Aina yang belikan tadi pasar. Kata Kak Aina Abah harus berbaikan gizi."
Abah tertawa mendengar penjelasan Nisa. Sementara Aina tertunduk malu. Nggak nyangka adik iparnya akan ember mengatakan gurauannya yang cukup menyinggung tadi.
"Abah kan sudah sepuh bukan balita."
"Btw, Mas! Aku nanti lulus mau jadi dokter aja. Aku mau jadi dokter yang keren kayak Kak Aina! Kak Aina lebih keren daripada Mas Habib."
Habib yang sedang minum teh hangat melongo. Dia tak menyangka sang adik akan mengubah keputusannya semudah itu hanya karana mengobrol semalam dengan Aina. Padahal sudah lama Habib menasehati adiknya itu untuk mencari jurusan lain selain guru.
Habib telah merasakan bagaimana menderitanya menjadi seorang guru sukwan di negara Indonesia ini. Sementara untuk menjadi guru PNS tidaklah mudah. Dia harus bersaing dengan jutaan lulusan lain setiap tahunnya. Yang lolos kebanyakan adalah yang fresh graduate. Sementara yang sudah bongkotan seperti dirinya ini hanya bisa meratapi nasib. Maka dari itu dia sudah wanti-wanti adiknya untuk mengambil jurusan lain. Namun sang adik sangat kekeuh. Bagaimana Aina bisa menyakinkan adiknya yang keras kepala itu untuk mengubah keputusannya?
"Ndak dipikir dulu to, Nduk? Sekolah kedokteran itu mahal lho. Abah ini Ndak punya apa-apa buat menyekolahkan kamu. Tanah Abah sudah habis dijual." Abah yang mendengar keputusan Nisa itu tampaknya juga kaget.
"Aku kan bisa daftar beasiswa," jawab Nisa dengan penuh percaya diri.
"Dapat beasiswa itu ndak gampang, Nduk. Kalaupun kamu bisa dapat mungkin hanya biaya kuliahnya saja. Biaya hidupmu bagaimana? Biaya praktikum dan lain-lain? Abah sering dengar curhat dari Pak Lurah tentang anaknya yang kuliah kedokteran itu habis berapa. Sampai Pak Lurah jual sawahnya 500 RU."
"Kak Aina bilang, Kakeknya Mbak Aina bisa kasih beasiswa penuh kalau lihat nilai rapot Nisa. Biaya hidup dan biaya praktikum juga ditanggung. Tapi Nisa harus bekerja sambilan sepulang kuliah di klinik P-Farma."
Abah dan Habib memandangi Aina yang hanya meringis saja.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Menikahi Dokter 2
RomanceKehidupan setelah pernikahan ternyata tidak mudah. Tidak seindah di novel-novel romance. Apakah happly ever after itu ada?