8. Marah?

13 6 1
                                    

Sepulang sekolah aku berdiri di depan gerbang menunggu ojek online, di samping ada Tania yang meskipun sudah ada jemputan dia masih setia menunggu ku.

"Sarah, maaf yaa gak bisa nemenin kamu ke rumah Nata hari ini."

"Enggak apa-apa." Jawabku seadanya.

Sore ini aku memutuskan untuk menghampiri Nata ke rumahnya. Aku butuh penjelasan karena bukan satu atau dua tahun aku mengenal Nata, baru kali ini dia bersikap seolah-olah aku ini tidak pernah ada di hidupnya. Mengabaikan, bahkan menghilang.

"Sepertinya aku harus duluan, Sarah. Orang rumah sudah nelpon berkali-kali." Tania menunjukkan layar ponsel karena memang hari ini dia ada acara keluarga.

"Gak apa-apa, hati-hati di jalan."

Tania melambaikan tangan ketika sudah berada di atas motor. Motor itu melaju meninggalkan aku sendiri di gerbang. Memang tidak benar-benar sendiri karena masih banyak siswa lain yang menunggu jemputan. Tapi aku tidak kenal siapa-siapa di sini, tidak ada bedanya kalau aku sendirian.

Ojek online yang ku tunggu akhirnya tiba, segera saja aku naik dan menyebutkan alamat yang ingin di tuju. Tidak berharap banyak yang terpenting di sana aku tahu Nata kemana, meskipun tidak bertemu orangnya secara langsung.

"Terima kasih, pak." Ucapku setelah turun dari motor dan sedikit merapihkan rok abu-abu yang sedikit tersingkap.

"Sama-sama, mba."

Ku tatap rumah minimalis berlantai dua itu dengan kagum. Sangat terasa sekali kalau penghuni rumah ini begitu harmonis, berbanding terbalik dengan keadaan di rumahku. Aku lupa bertanya, sejak usia berapa Nata pindah ke rumah ini? Karena setelah sekian lama kami baru bertemu kembali di bangku SMP.

Sembari berjalan memasuki pagar rumah, aku termenung. Ternyata masih ada banyak hal yang aku tidak tahu tentang Nata. Setiap hari, oh tidak! Bahkan setiap detik aku selalu menceritakan semuanya kepada Nata. Menuntut Nata untuk memahami perasaanku, menjadi rumah untukku dan bagian ternyaman dalam hidupku. Apa aku pernah bertanya tentang perasaan Nata? Apa yang Nata rasakan? Apakah hari ini baik-baik saja? No!

Nata yang lebih sering bertanya tentang itu kepadaku.

Kenapa baru terpikirkan sekarang? Bodoh sekali Sarah!

Satu tangan yang terangkat untuk mengetuk pintu tergantung begitu saja. Rasa-rasanya ada setitik ragu yang mengharuskan aku untuk mengurungkan niat dan langsung pulang saja. Tapi pikiran berteriak untuk mengetuk pintu itu sekarang juga meskipun kata hati tidak memberikan.

Ketika hati dan pikiran memiliki pendapat yang berbeda, maka apa yang harus dilakukan raga?

Maka raga memilih untuk mengikuti bisikan pikiran. Tanganku mengetuk dua kali pintu tapi tak kunjung ada respon dari dalam. Satu kali lagi aku ketuk, suasana menggambarkan kalau di rumah ini tidak ada siapa-siapa.

"Nata?"

Aku ingin menangis saja, ketika langit berubah warna menjadi jingga tapi aku belum mendapatkan jawaban.

Ini yang ke sepuluh aku mengetuk pintu, dan sekarang aku yakin kalau memang di rumah ini tidak ada siapa-siapa. Memilih duduk di kursi teras depan, aku memutuskan menunggu Nata sampai dia ada.

Menunggu itu bukan sesuatu yang enak. Menjaga mata untuk tetap terjaga rasanya sulit, badan pun sudah terasa panas ingin di rebahkan.

Satu jam menunggu, langit sudah berubah warna menjadi gelap. Mataku terbuka kemudian melihat sekitar yang sepi seolah tidak ada tanda-tanda kehidupan. Menghembuskan napas lelah, sungguh Nata Mahatma ini menyakitkan.

Suara mesin motor memasuki halaman membuatku mengambil sikap berdiri, ada setitik bahagia di hati karena berharap kalau itu Nata. Lampu motor masih menyorot ke arah wajahku, sehingga menyulitkan untuk melihat siapa pelaku di hadapan sana.

Whitout You (SUDAH TERBIT DI TEORI KATA PUBLISHING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang