BAGIAN 16 - PEMBUKTIAN (1)

244 13 0
                                    

“Jangan cengeng dong, masa gitu aja nangis.”

“Berisik!”

Shaka merengut kesal, memilih berjalan lebih dulu meninggalkan Karel yang masih saja meledeknya perihal tadi.

Padahal ia hanya terharu setelah mendapat kejutan, air matanya sedikit keluar. Itu manusiawi meski untuk seorang laki-laki, tapi Karel tak henti mengejeknya bahkan setelah mereka keluar dari area akuarium.

“Kok gue ditinggal?” Karel mempercepat langkahnya, setengah berlari guna menyusul Shaka yang berjalan sangat cepat. Setelah berhasil menyamai langkah, Karel langsung merangkul pundak itu.

“Apasih, gak usah rangkul-rangkul!” Shaka menyingkirkan paksa tangan Karel, dirinya masih kesal.

“Ih kok gitu? Marah, ya?”

“Gak.”

“Senyum dong kalo gak marah.”

Shaka mengangkat sudut bibirnya, hanya sedikit, bahkan tidak terlihat seperti sebuah senyuman.

Dan karenanya pula tangan Karel terjulur, menyentuh kedua ujung bibir itu dengan telunjuk dan ibu jari lalu menariknya ke atas supaya membentuk sebuah lengkungan.

“Ih! Iya iya ini senyum, nih! Puas?”

Akhirnya Shaka menyerah, menyunggingkan bibir lebar-lebar walau sedikit dipaksakan.

Karel tersenyum senang, kembali merangkul pundak itu yang kali ini tak ada penolakan sama sekali, “Nah, gitu dong. Sekarang kita mau kemana?”

“Kita ke—” tungkai kakinya berhenti bergerak, membuat Karel ikut menghentikan langkah dengan tatapan bingung.

Shaka menatap lurus ke depan, ada seseorang disana yang juga turut berhenti saat melihat dirinya. Namun kemudian orang itu bergerak, melambai singkat dan berhenti tepat di depannya.

“Hai, Shaka!”

Shaka tersenyum kaku, melepas tangan Karel dari pundaknya dan mencoba menjaga jarak.

“Ngapain disini sama…” ucapannya menggantung, orang itu beralih menatap Karel yang mengalihkan wajah. Raut yang semula senyum itu berubah heran.

“Revan, bisa ngomong bentar?” Shaka lekas menyela, tanpa menunggu jawaban dari yang bersangkutan langsung menarik tangan itu guna mencari tempat yang lebih sepi untuk bicara empat mata.

Karel yang ditinggal begitu saja jelas kebingungan. Rasa dongkol juga sempat hinggap lantaran kemunculan Revan di situasi yang tidak tepat. Namun rasa penasarannya jauh lebih besar sekarang. Apa yang ingin Shaka bicarakan dengan Revan?

Maka atas dasar itu Karel membawa kakinya hendak menyusul mereka. Namun apa yang ia lihat berikutnya membuat perasaannya menjadi tidak nyaman.

Disana tangan Revan terulur hendak menyentuh pipi Shaka, wajah mereka begitu dekat, dan bayangan kejadian yang mungkin akan terjadi selanjutnya membuat tangan Karel mengepal kuat.

Pemuda itu langsung berlari, memanggil nama Shaka dengan lantang hingga membuat kedua orang disana menoleh padanya.

“Kenapa, Karel?” Shaka menatap Karel bingung. Pemuda itu napasnya tampak memburu. Ada apa?

“Pulang, yuk!”

“Tapi ini gue—”

“Tante Sita nelpon, nyuruh lo cepet pulang. Yuk!”

Tanpa aba-aba Karel meraih pergelangan tangan Shaka, menariknya, lantas segera membawanya pergi dari sana. Tidak peduli pada ocehan Shaka yang meminta untuk melepaskan genggaman pada tangannya yang cukup menyakitkan.

Best (Boy) FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang