Lizia menutup pintu kamar mandinya. Dan terkejut samar saat melihat Heksa menembus pintu. Kali ini dia bisa melihat bahwa dia sungguh hantu walau wujudnya sangat sempurna seperti manusia.
"Mau mandi?" Heksa berdiri di depan Lizia.
Lizia memalingkan wajahnya, mencoba tidak panik. "Aku emang bisa liat kamu, tapi bukan berarti kamu seenaknya. Aku bisa bantu kamu pulang, tenang di alam sana.. Jadi tolong, aku butuh privasi." ujarnya panjang lebar namun dengan tatapan menunduk.
"Pulang? Tenang? Gue suka kayak gini, bebas tanpa ada yang liat." Heksa membungkuk hingga wajahnya sejajar dengan Lizia.
Sungguh cantik. Lizia begitu terang, pantas saja banyak hantu yang penasaran. Ada aura penarik yang membuat banyak hantu tertarik.
Lizia tidak tahu harus bagaimana, berdoa, memakai ilmu yang diajarkan. Heksa tetap tidak bisa terusir.
"Gue bebas sentuh siapapun, ngintip siapa pun." bisik Heksa di depan wajah pucat Lizia.
Heksa kecup bibirnya sekilas. Untuk pertama kalinya. Lizia jelas melotot kaget. Di dunia nyata belum pernah dan ciuman pertamanya dengan hantu?
Lizia menggeleng, tidak. Itu tidak terhitung ciuman pertama karena dia hantu walau pun kecupannya terasa nyata.
Heksa menatap Lizia yang semakin pucat. Tidak lucu jika pingsan. Jika Lizia semakin takut, bukankah ingin melakukan banyak hal dengan Lizia akan terwujud lama?
"Oke, gue keluar." Heksa tersenyum, dia usap kepala Lizia lalu pergi santai menembus pintu.
***
"Tolong antar ke ruang guru, mejanya Bu Ayun."
Lizia dan Gea mengangguk lalu pergi bersama dengan kedua lengan memeluk buku yang sama banyaknya.
Heksa tentu menjadi terus mengekori Lizia. Hanya dia yang bisa melihatnya untuk pertama kalinya. Jelas tidak akan Heksa lepaskan.
Heksa yang posesif dengan apa yang menjadi miliknya jelas mengusir beberapa hantu yang ingin mendekati Lizia. Dia kini terlihat seperti pengawal Lizia dari dunia lain.
Lizia cukup lega dengan banyaknya makhluk yang langsung pergi karena diusir Heksa. Dia bisa sedikit mengangkat kepala, melihat beberapa hiasan di lorong sekolah barunya.
Biasanya Lizia tidak berani mengangkat wajahnya, takut bersitatap dengan para hantu dan mereka mendekatinya jika tahu dia bisa melihat mereka.
"Liz,"
"Ya?" cicitnya canggung.
Lizia selalu tidak bisa berteman, kadang penjaga dari alam lain setiap orang selalu seram-seram. Kadang juga membuatnya lelah karena energinya tersedot oleh penjaga yang memang kuat.
Tapi kali ini, Lizia menatap Gea. Dia tidak memiliki penjaga? Atau tidak terlihat ya? Aura Gea bagus, dia orang baik. Batin Lizia.
"Katanya kamu punya kelebihan, ya? Hari itu kita omongin kamu bukan ngejelekin kok, kita cuma penyuka horror. Jadi, waktu denger gosip kamu suka bicara sendiri di sekolah lama, katanya indigo, kita jadi pengen deket, temenan, ga lagi bully kok," Gea jujur apa adanya.
Lizia menunduk gugup. Dia iyakan atau tidak ya?
"Jawab iya aja, sayang." bisik Heksa dengan genitnya. Dia seperti playboy, tapi mungkin bedanya dia playboy di dunia hantu?
Lizia tersentak pelan mendengar bisikan itu, cukup kaget. Untung buku di pelukannya tidak jatuh.
"A-Aku.. Ga tahu, tapi bisa liat dan bicara sama mereka emang iya," cicitnya gelisah, takut menjadi masalah dan semua orang malah menjauhinya.