Ben terbaring di ranjang rumah sakit dalam kondisi yang sangat lemah, sekujur tubuhnya babak belur meninggalkan bekas kebiruan. Henry beberapa hari ini mendampingi ben di sampingnya.
"Ben," panggil Henry saat melihat mata putranya yang mulai terbuka.
Ben melihat ayahnya yang sangat khawatir. Wajah pucat Henry tergambar jelas di mata ben. Pria paruh baya itu menggenggam jemari ben mengecupnya berulang kali.
"Ayah senang kamu sudah siuman," katanya penuh kelegaan.
Seketika ben merasakan sebuah api kerinduan yang meletup di hatinya. Dia mulai mengingat tentang masa kecilnya saat dengan sayang Henry selalu menemani dia bermain di lapangan sepak bola.
"Apa ada yang sakit? Katakan pada Ayah, Ayah akan meminta dokter untuk memeriksamu."
Ben hanya mengedipkan mata, bibirnya yang pecah-pecah ingin berucap tetapi tenggorokannya terasa kering.
"Kau mau minum? Biar Ayah ambilkan," tawarnya segera menuangkan segelas air putih untuk putranya minum. Membantu ben hati-hati duduk di sandaran ranjang pasien.
Setelah memberikan minum ben. Henry memanggilkan dokter yang merawat putranya.
"Dia baik-baik saja, tidak ada cedera khusus dan luka dalam. Hanya lambungnya yang terinfeksi karena peradangan. Mungkin ini sebab putra Anda suka meminum minuman keras atau alkohol yang berlebihan."
"Apa peradangan lambungnya sangat serius Dokter?"
"Ini masih tahap awal, jika putra Pak Henry bisa mengatur pola makannya dan menghindari minuman keras, maka infeksi lambungnya tidak akan menyebar sampai menjadi penyakit kronis."
Henry menatap iba kondisi ben, dia bahkan tidak tahu jika putranya mengonsumsi minuman keras dalam waktu yang lama. Jika tidak, mana mungkin lambung ben akan mengalami peradangan.
"Saya akan meresepkan obat untuk mengurangi peradangan lambungnya. Pak Henry bisa menebusnya di apotek rumah sakit, dan saya harap ben akan meminumnya secara teratur."
Dokter mencatat resep obat yang harus Henry beli.
"Sementara waktu, ben tidak boleh memakan makanan yang mengandung alkohol tinggi. Pastikan makanannya juga halus." Henry mengangguk mengerti.
"Dua jam lagi saya akan mengganti perban luka ben."
Perban yang digunakan suster untuk membalut luka pukulan anak buah ethan di tubuh ben, yang robek kini terlihat kotor karena darah yang kering.
Dokter akan mengganti perban itu dua jam setelah ben mengonsumsi obat dan memakan buburnya.
Seusai pemeriksaan dengan dokter, Henry menata bantal di punggung ben agar laki-laki itu nyaman bersandar.
Ben melihat jendela langit yang cerah di siang hari. Matanya yang cekung menangkap kartu undangan pernikahan yang ada di nakas dekat jendela.
Nama Ruka Peterson saudaranya yang tertera di sana membuat ben terdiam. Henry yang menyadari hal itu mengambil kartu undangan itu lalu menyimpannya di laci.
"Ayah tidak ingin kamu memikirkan hal yang tidak perlu. Fokus saja pada kesembuhanmu."
"Ruka menikah?"
Henry menatap mata ben, dia tidak bisa menebak isi pikiran ben. Apakah dia masih membenci ruka atau tidak?
"ruka akan melangsungkan pernikahan dengan Pharita satu pekan lagi."
Ben terdiam tidak mengatakan apa pun. Henry pun sama, dia tidak tahu harus memulai obrolan apalagi.
Kecanggungan benar-benar menyelimuti mereka. Meski keduanya memiliki hubungan darah, tapi ayah dan anak itu merasa seperti orang asing satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Wanna Be Yours (BXG) (Rupha) END
Storie d'amorePharita yang berhati dingin seperti ular dipertemukan dengan Ruka laki-laki berhati hangat nan lembut seperti kelinci. Akankah cinta bisa tumbuh di hati keduanya?