72. Dimana arah pulang?

2K 187 24
                                    


Happy reading

-

-

maaf lama huhuuu

Lara pov

Sebenarnya, aku sangat trauma saat kakiku harus memijak tanah basah pelantaran pemakaman yang identik dengan rasa sedih kehilangan. Setiap aku memasuki gerbang hitam itu, aku terus mengingat saat aku melewati tahap dimana aku tidak bisa mengendalikan jiwaku yang setengah hilang karena ditinggal Bunda. 

Lalu belum sempat habis masa duka, lima hari kemudian aku kembali ke tempat itu lagi untuk memakamkan sahabatku satu-satunya, Arunika.

Intinya, aku sangat membenci tempat ini. Namun aku harus tetap berkunjung untuk memanjatkan doa agar mereka yang meningggalkanku bisa tenang dan damai di alam sana. 

Pada sore hari yang agak mendung ini, aku kembali menginjak pemakaman itu. Dengan perasaan berdebar lebih hebat lagi. Begitu aku melihat dari kejauhan pada dua makam yang berada paling ujung itu, tangisku kembali pecah. Berusaha menggeret kakiku yang lemas untuk cepat mendekat.

Mataku kini tak tertuju pada makam Bunda seperti biasanya, aku menatap makam yang nampak lusuh dan kotor yang berada tepat di sebelah makam Bunda. Mataku sudah mengabur dengan dada yang sesak kembali menyerang. Duduk di atas tanah basah di antara dua makam itu tanpa memedulikan dress panjang putihku yang kotor.

Sekelebat memori melintas di kepalaku, membuat diriku memejamkan mata mengutuki diri atas lisanku yang tak dapat dijaga.

"Makam siapa sih? Keluarganya ngga pernah jenguk ya? Kotor banget,"

"Bunganya cuma cukup buat Bunda, ngga usah ditaburin sebelah. Nanti juga depet dari runtuhan bunga kamboja di atas,"

Aku berlutut menghadap pusaran pemakaman itu. Aku baru sadar ucapanku sebelumnya sangat jahat sekali. Maaf, maafkan aku. Aku tidak tahu jika itu makammu. Maaf karena telah mengabaikanmu. 

Sebenarnya kedatanganku kesini untuk meluapkan rasa marahku pada dua orang yang telah membohongiku. Terutama Ibu kandungku sendiri yang baru kemarin malam aku tahu. Bibirku bergetar melihat nisan bertuliskan nama itu. 

Seperti apa wajahnya? Apakah aku mirip dia? Apakah dia pernah menggendongku saat kecil? Apakah dia menyesali tindakan bunuh dirinya dan berakhir membiarkan aku mendapatkan perlakuan kejam dari dunia?

Dalam kesesakanku yang beradu dengan tangis, emosiku mulai memuncak setelah mengingat masa beratku yang terus menghujam tanpa henti.

"Elo yang lonte kenapa harus mereka yang nanggung sih?" ucapku kasar. Itu ucapan spontan.  Aku hanya mengeluarkan kata yang pantas mewakili kekesalanku. Namun detik setelahnya aku menyesali perkataanku. Berakhir menangis lebih hebat lagi.

Karena Ibu kandungku keluarga Bunda dan dua kakakku harus hancur. Aku tak terlalu memedulikan lukaku. Aku sangat tahu diri. Dari awal aku memang merasa tak pantas untuk hidup. Gege dan Avi terlalu baik untuk menerima bahwa mereka telah merawat dan melindungi anak haram yang mengancurkan keluarga mereka. Aku penyebabnya.

"Kenapa cuma lo yang bunuh diri?! Kenapa ngga sekalian gue? Kenapa?! Lo sengaja pergi lebih awal biar lo ngga nanggung kesakitan kaya gue sekarang 'kan? EGOIS!!" semprotku seolah Yessa benar berada disana mendengarku.

Detik berikutnya aku membalikkan badan, menoleh arah makam milik Bunda yang selalu aku rindukan. Dengan cepat aku merangkak menggunakan kedua lututku mendekat. Membiarkan kedua tanganku yang ikut kotor karena tanah basah. 

Sea For Blue WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang