Habib merapikan dasinya berkali-kali. Padahal dasi itu tidak terlihat miring hanya saja Habib terlalu gugup. Waktu berlalu begitu cepat hingga hari ini adalah hari pernikahannya. Persiapan pernikahannya sangat singkat karena semuanya sudah diatur sedemikian rupa oleh keluarga Prawirohadjo. Habib sebenarnya menginginkan pernikahan yang sederhana dan mengundang sanak saudara saja. Namun proposalnya itu segera ditolak oleh Kakek Aina.
"Pernikahan itu adalah investasi bagi keluarga kami jadi tidak boleh sederhana. Aku harus mengundang kolega-kolegaku. Kamu tidak perlu mempermasalahkan biayanya, karena tidak akan terlalu mahal. Ada banyak yang bersedia menjadi sponsor."
Begitulah kata-kata Prof Sumarto waktu itu. Habib akhirnya tidak memikirkannya. Jika menikah dengan keluarga kaya tentunya dia memang harus membiasakan diri. Habib mengira undangannya paling-paling seperti pernikahan anak Pak Lurah di Desanya yang mengundang 300-400 orang. Namun setelah dia tahu ada 3000 undangan yang disebar, Habib jadi tidak bisa tidur sama sekali. Dan bagaimana satu hotel dibooking untuk acara pernikahannya? Memangnya dia mau konser apa?
"Udah ganteng!" komentar Moreno. Sepupu Aina yang tiba-tiba muncul di depan pintu. "Yang utama dari fashion itu adalah wajah," tambahnya. Cowok ganteng itu duduk dengan santai di kursi samping Habib.
"Kamu gugup ya?" tanyanya.
"Memangnya, Bang Reno nggak gugup waktu menikah dulu?"
Reno terdiam. Karena pernikahannya dulu itu awalnya palsu jadi sebenarnya dia tidak terlalu memikirkannya sama sekali. Reno memandangi kaki Habib yang gemetaran sampai kursinya berguncang.
"Awas hati-hati salah ngomong waktu akad nanti."
"Jangan bilang begitu dong, Bang!" desah Habib.
"Panggil Reno aja. Aku ini sebenarnya lebih muda 3 tahun. Hanya karena aku anak dari anak pertama kakek, Aina memanggilku Bang."
"Ah, begitu," angguk Habib.
"Apa kamu sudah yakin bisa membahagiakan Aina?"
Habib menatap Reno yang memandanginya. Sepertinya Reno sungguh bertanya karena penasaran. Ekspresinya sih tidak tampak mengintimidasi seperti Bella.
"Sebenarnya tidak," aku Habib. "Apa Bang Reno dulu yakin bisa menyakinkan Dokter Agmi sebelum menikah?"
Reno tertegun. Tidak menyangka Habib akan mengembalikan pertanyaan itu padanya. Bagaimana ya ... Waktu itu dia bahkan tidak memikirkan kebahagiaan Agmi sama sekali. Reno jadi merasa bersalah.
"Tentu saja. Dengan ketampananku saja. Dia pasti sudah bahagia." Berlawanan dengan hati nuraninya, Reno malah menyombong.
"Kayaknya ketampanan itu akan luntur dalam 20-30 tahun lagi." Ucapan Habib yang jujur itu tentu saja membuat Reno jengkel. Tapi dia malah tertawa.
"Yah, kamu benar," aku Reno. "Kalau kamu melihat Aina di ruangannya, kamu harus percaya diri. Seumur hidupku aku belum pernah melihat Aina tersenyum seperti mulutnya hampir sobek. Dia sangat bahagia."
"Sungguh?" tanya Habib masih tidak yakin.
"Reno hanya tergelak kemudian menepuk pundak Habib. "Percaya dirilah."
"KENAPA AYAH MENGAJAK MEREKA!"
Habib dan Reno terkejut mendengar teriakkan yang terdengar dari lobi. Mereka melongok dan melihat Prof Sumarto, Bella, Tante Sasa, Om Edwin dan seorang lelaki tua dengan kumis kotak seperti Adolf Hitler.
Bella tampak sangat marah. Walaupun biasanya calon kakak iparnya itu memang biasanya suka marah-marah, tapi kali ini dia benar-benar murka.
"Pelankan suaramu, Bella. Kamu jangan merusak hari bahagia adikmu," kata pria berkumis kotak itu.
"Ayah yang merusaknya! Mestinya ayah tidak usah datang. Apa Ayah kira, Aina akan senang melihat pelakor dan anak harammu itu?" ketus Bella.
"Jaga bicaramu. Aku ini ayahmu. Kamu pikir Aina bisa menikah kalau aku tidak datang?" Om berkumis itu masih menjawab dengan nada yang tenang.
"Biarkanlah saja, Bella. Toh tidak akan ada yang tahu dua orang itu siapa," ucap Om Edwin. Sepertinya pria itu juga tidak terlalu senang tapi dia berusaha untuk tetap tenang.
"Oh! Tenang saja, Bella! Aku bisa lari ke podium sekarang juga dan mengusir mereka dengan cepat pakai microphone!" Ini Tante Sasa yang mengancam.
"SASA!" Om kumis kotak menaikkan suaranya.
"Kenapa? Kalau kamu takut harusnya kamu nggak bawa pelakor itu ke sini. Cepat suruh mereka pergi baik-baik sebelum aku yang turun tangan, Kak!" Tante Sasa terlihat gagah sembari bersedekap sehingga Om kumis kotak agak menciut.
"Sasa kamu jangan bikin keributan. Jarwo, kamu juga. Lebih baik suruh istrimu pulang. Aku kan sudah pernah bilang aku tidak mau melihat dia. Atau kamu mau aku mencoretmu dari daftar ahli waris?" Ucapan Prof Sumarto sepertinya membuat Om kumis kotak tampak kaget.
Habib yang kebingungan dengan situasi ini akhirnya bertanya pada Reno. "Om kumis kotak itu siapa?"
"Calon mertuamulah. Oh, kamu belum pernah bertemu dia ya?"
Habib ternganga mendengar jawaban Reno itu.
***
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.