Magara duduk sendirian di sebuah bangku taman, menatap kosong ke arah langit yang kelabu.
Tak terasa hari pertunangan antara Jiraga dan Yerin sudah tiba, mereka akan bertunangan malam ini.
Beberapa hari sebelum hari ini, sebenarnya Magara sangat sadar sudah menjauhkan diri dari kakaknya karena entah mengapa setiap melihat Jiraga ada rasa kesal bercampur kecewa dihatinya.
Magara tidak pernah menyangka hidupnya akan berputar seperti ini. Di hadapannya, kebahagiaan tampak begitu jauh, terpisah oleh tembok yang tak terlihat.
Dia memejamkan matanya, mengingat kembali momen-momen saat dia pertama kali bertemu Yeri. Senyumnya yang ceria, tawa ringannya, dan cara dia selalu membuat Magara merasa terpesona.
"Magara?" Suara lembut menyadarkan Magara dari lamunan.
Dia membuka matanya dan melihat Yeri berdiri di hadapannya. Jantung Magara berdebar. Seharusnya, dia merasa bahagia melihat Yeri, tetapi rasa sakit itu terlalu dalam.
"Yerin," jawabnya datar, berusaha menyembunyikan perasaannya. "Ada apa?"
"Maaf.." kata Yerin, suaranya sedikit bergetar.
"Gak ada yang salah, gak perlu minta maaf." Magara menjawab, berusaha terdengar tenang. "
Yerin menghela napas, dan Magara bisa melihat air mata mulai menggenang di matanya.
"Kenapa mau nangis?" potong Magara, merasa kepedihan itu semakin menyesakkan. "Harusnya bahagia..."
Yerin menunduk, dan Magara merasakan hatinya bergetar. Dalam sekejap, semua kenangan indah bersamanya terasa seperti ilusi. Dia ingat saat mereka menghabiskan waktu bersama. Namun, semua itu kini terasa hampa.
"Pulang sekarang, udah sore." Magara berdiri, merasakan beban di dadanya semakin berat. "Gara duluan."
Dengan langkah yang berat, Magara meninggalkan taman itu, menyisakan Yerin yang terlihat bingung dan bersedih.
Di perjalanan pulang, segala pikiran berputar di kepalanya. Dia tidak hanya kehilangan Yerin, tetapi juga merasa terasing dari keluarganya. Jiraga, kakaknya yang selama ini dia sayangi, seolah menjadi penghalang terbesar dalam hidupnya.
Saat Magara berjalan dengan sangat pelan dan pandangan kosong entah kemana, dia tak sengaja bertemu dengan seorang remaja laki-laki yang ia kenal, yaitu Aji.
"Halo, Aji..." Sapa canggung Magara.
"Eh iya, kakak itu kakaknya Hariga kan?" Tanya Aji memastikan.
Magara mengangguk, "Lagi apa disini?"
"Cuman lagi banyak pikiran aja sih, kak. Males dirumah." Jawab Aji.
Aji sekilas menatap mata Magara, "Mata kakak kayaknya capek banget, mau cerita sama Aji gak?"
Magara ragu sejenak, tetapi kejujuran mengalir dari hatinya. Dia menceritakan semua yang terjadi, hal yang menggerogoti jiwanya. Aji pun mendengarkan dengan seksama.
"Hidup kadang emang gak adil, kak. Pasti ada aja ujiannya.
"Kakak juga gak bisa salahin atau kesel sama orang karna semuanya udah ada yang atur..."
Kata-kata Aji itu membekas dalam pikiran Magara. Mungkin dia telah terjebak dalam rasa sakit dan kemarahan, tetapi apakah hidupnya hanya akan berputar di sekitar itu?
Dia menyadari bahwa menghindari Jiraga atau Yerin tidak akan mengubah apa pun. Dia harus menemukan cara untuk bangkit dari kegelapan ini.
Setelah berbincang dengan Aji, Magara pulang hati yang sedikit lega. Dia mengambil keputusan untuk berbicara dengan Jiraga.
Malam itu, setelah berhari-hari menghindar, dia mengetuk pintu kamar kakaknya.
"Abang, Gara mau ngomong boleh?" Suaranya terdengar tegas meski hatinya bergetar.
"Iya, sini masuk." jawab Jiraga.
"Gara mau minta maaf udah jauhin abang..."
Jiraga menatapnya dengan penuh pengertian. "Gara, adeknya abang yang paling baik. Makasih ya udah ngalah sama abang kamu yang belum cukup sempurna buat jadi seorang kakak. Maaf juga karna udah ambil salah satu sumber kebahagiaan Gara..."
Magara mengangguk, merasakan haru menyelimuti hatinya. Mungkin ini saatnya untuk melepaskan rasa sakit dan mulai menyembuhkan diri.
Magara merasa beban di hatinya sedikit berkurang. Dia tahu perjalanan ini masih panjang, tetapi dia siap untuk melangkah. Saat dia meninggalkan kamar Jiraga, sebuah harapan baru menyala dalam dirinya. Mungkin, suatu hari nanti, dia akan menemukan kebahagiaan kembali.
Magara tidak pernah membayangkan bahwa cinta yang dipendamnya selama ini akan berakhir dengan cara yang begitu menyakitkan.
Malam pertunangan itu, Magara berusaha untuk hadir dengan senyuman, meski hatinya penuh rasa sakit.
Dia menyaksikan Yerin berkilau dalam gaun indahnya, sementara Jiraga menatapnya seperti penuh dengan cinta. Setiap detik berlalu terasa seperti jarum yang menusuk hati Magara.
Dia berusaha tersenyum saat Jiraga memperkenalkan Yerin kepada semua orang, tetapi di dalam dirinya, ada kekosongan yang tak terisi.
***
To be continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Magara and Love
Hayran KurguSejatinya, seorang Magara hanya ingin tahu bagaimana rasanya dicintai, bukan sekadar mencintai. Terkadang, lelaki itu merasa muak memberikan perhatian, rasa cinta, dan kasih sayang kepada orang-orang terdekatnya, sementara mereka seolah tak pernah m...