ㅡ 16. A Glimmer of Light.

164 47 18
                                    

Hiran dan Nartha tiba di rumah sakit pada siang hari, bergantian menjaga Jayen setelah Maven, Rasen serta Chandra yang ingin dirawat di kos saja. Sejak berangkat dari kos, suasana di antara mereka tetap sunyi. Tak ada satupun yang bersuara, masing-masing sibuk dengan pikiran dan perasaan bersalah yang masih membekas.

Saat sudah sampai di kamar rumah sakit, ketiganya langsung mengambil posisi tanpa banyak bicara. Hiran duduk di sofa sambil memainkan ponselnya dengan wajah lesu. Sedangkan Nartha duduk di sudut kamar dengan memainkan pensil di tangannya, mencoba fokus pada gambar yang sedang ia buat di buku sketsa.

Ruangan itu terasa begitu sepi, hanya terdengar suara alat-alat medis yang menjaga detak jantung Jayen tetap stabil. Tak ada dari mereka yang berani memulai percakapan, karena sepertinya kata-kata sudah terlalu sia-sia saat ini. Jadi, mereka hanya sibuk dengan diri sendiri.

Jam terus berdetak, suasana semakin berat, seolah udara di ruangan itu semakin padat oleh keheningan dan rasa bersalah. Nartha yang masih mencoba fokus menggambar, mendongak dan melihat sesuatu.

"Eh..." gumamnya, suaranya sangat pelan, nyaris tak terdengar.

Tatapannya kearah tangan Jayen, jari-jarinya yang perlahan bergerak, meremas pelan sprei putih yang menutupi tubuhnya. Nartha terdiam sejenak, tidak yakin dengan apa yang baru saja ia lihat.

"Jayen?" gumamnya kembali, nadanya setengah antara kaget dan tak percaya.

Hiran langsung menoleh cepat, menyadari perubahan di wajah Nartha. Tanpa berkata-kata, Nartha menunjuk kearah tangan Jayen yang kini bergerak sedikit lebih jelas. Jemari Jayen tampak berusaha menggenggam sesuatu, seolah-olah merespons.

"Lo liat itu?" tanyanya dengan napas yang tercekat.

Keduanya mendekat, menyipitkan matanya kearah tangan Jayen yang kini jelas-jelas bergerak pelan, menggenggam dan melepas sprei. Sejenak mereka semua terpaku, tak ada yang percaya dengan apa yang mereka lihat.

Wajah mereka seketika memucat antara kaget dan harapan yang mendadak muncul. "Jayen? Lo denger kita?"

Tidak ada jawaban, tapi jari-jemari Jayen semakin aktif bergerak, meskipun perlahan. Keduanya terdiam dalam harapan yang terjaga, menatap tubuh Jayen yang mulai memberikan tanda-tanda kesadaran setelah dua minggu dalam kondisi koma. Air mata menggenang di mata Hiran, namun ia segera menahannya.

Nartha buru-buru berlari keluar ruangan, mencari dokter ataupun perawat. Hiran hanya bisa diam berdiri dengan napas yang tertahan, merasa seolah-olah keajaiban sedang terjadi di depan mata mereka.

Hiran masih terpaku pada tangan Jayen yang terus bergerak pelan, meski sangat lemah. Hiran mencoba menggenggamnya dan dibalas. Jayen seperti jngin meremat tangannya dengan kuat seolah ia ingin menghentikan paksa mimpinya itu.

Di mata Hiran, itu seperti secercah harapan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Dua minggu sudah berlalu dengan Jayen tak sadarkan diri. Namun saat ini, segala kesedihan, rasa bersalah, dan keputusasaan mereka seakan lenyap oleh pergerakan kecil dan respon dari jemari itu.

"Jayen... Kalau lo bisa denger gue... Maafin gue, ya," bisiknya dengan suara berat. Dia tahu permintaan maafnya terdengar hampa, tapi dia ingin mengatakannya sekarang, sebelum terlambat.

Tidak lama kemudian, Nartha kembali dengan seorang perawat. Nafasnya sedikit tersengal, ia terlihat panik.

Perawat itu langsung menghampiri Jayen, memeriksa kondisi tubuhnya dan memeriksa monitor yang menampilkan detak jantung dan tanda-tanda vital lainnya. Nartha dan Hiran berdiri jauh, menunggu dengan cemas, berharap hasil dari pemeriksaan ini bisa membawa kabar baik.

Setelah beberapa saat memeriksa, perawat itu menghela napas lega dan tersenyum kecil, "Tubuhnya mulai merespons. Meski ini belum pasti dia akan bangun segera, tapi ini perkembangan yang baik. Terus ajak dia mengobrol agar semakin berkembang."

"Kalau ada perubahan lebih lanjut, segera panggil kami lagi."

Setelah perawat itu keluar, suasana di ruangan kembali hening. Namun kali ini, heningnya ini berbeda-- ada harapan di tengah keheningan. Harapan yang sebelumnya terasa jauh dari jangkauan, sekarang sudah ada di depan mata. Mereka tau Jayen sedang berjuang untuk kembali.

"Lo denger itu?" tanya Hiran pelan, menatap Nartha. "Dia bilang ini pertanda bagus."

Nartha mengangguk, sedikit tersenyum, meskipun matanya masih menyimpan rasa bersalah yang mendalam. "Iya... Gue harap Jayen cepet bangun. Gue nggak tahu lagi harus gimana kalau dia terus begini."

"Yang penting sekarang kita tetep jaga dia. Kita semua udah salah, tapi nggak ada yang bisa kita lakuin kecuali nunggu. Setidaknya kita harus ada di sini buat dia."

Hiran menghela napas panjang, duduk kembali di kursinya di samping tempat tidur Jayen. Ia menggenggam tangan Jayen yang lemah dan dingin, berharap genggamannya bisa memberikan kekuatan bagi sahabatnya itu untuk terus berjuang.

"Ntar kalau lo bangun, gue traktir lo sepuasnya, Jayen," ujar Hiran dengan senyum tipis yang hampir tak terlihat. "Lo boleh minta apapun yang lo mau."

Nartha terkekeh kecil mendengar ucapan Hiran. "Yakin lo, Ran? Dia bakal nguras tabungan lo buat beli makanan mahal pasti."

Hiran ikut terkekeh, "Kalo itu bisa bikin dia bangun, gue nggak peduli. Duit masih bisa dicari."

Nartha tersenyum, tapi senyum itu cepat hilang. Ia memandangi Jayen dengan tatapan kosong, masih dibayangi oleh rasa bersalah yang terus menghantui pikirannya.

Nartha berdiri dan menghampiri jendela, menghela napas berat. Ia memandang keluar kearah kota yang tampak sibuk, jauh dari ketenangan di dalam kamar rumah sakit itu.

"Gue... Gue juga nggak akan lupa gimana gue nyesel hari itu," ucap Nartha tiba-tiba, suaranya hampir berbisik, namun cukup untuk didengar oleh Hiran karena saking heningnya. "Gue nggak bisa lupain. Itu kesalahan terbesar gue."

Hiran menoleh cepat, tatapannya lesu kearah Nartha. "Gue juga. Jahat banget gue..."

Nartha mengusap wajahnya, berusaha menenangkan diri. Tapi rasa bersalah itu sulit dilepaskan. Setiap kali ia melihat Jayen, kenangan hari itu selalu kembali menghantamnya. Bayangan Jayen yang terbaring tak berdaya dengan penuh darah dan luka di ranjang yang didorong terburu-buru itu.

"Gue cuma pengen dia cepet bangun. Biar kita semua bisa... nyelesein ini dengan bener."

Keduanya terdiam, mereka tahu apa yang dirasakan keduanya bahkan semuanya bukan hal yang mudah dilupakan. Mereka semua memiliki rasa bersalah masing-masing, dan sekarang yang bisa mereka lakukan hanyalah menunggu, menunggu Jayen untuk bangun dan kembali menjadi bagian dari mereka.

Suara lirih keluar dari mulut Jayen. Hiran dan Nartha terkejut. Mereka lebih mendekatkan diri pada Jayen.

"Lo... denger?" bisik Hiran dengan mata melebar.

Nartha menatap Jayen dengan penuh harapan. "Jayen? Lo bisa denger gue?"

Jayen tidak menjawab lagi, tapi napasnya terdengar lebih teratur. Matanya tetap terpejam, namun genggaman tangannya yang dingin pada Hiran mulai menguat sedikit demi sedikit. Hiran dan Nartha hanya bisa menatap satu sama lain, menahan napas. Meskipun Jayen belum sepenuhnya bangun, namun suara dan gerakan kecil itu sudah cukup untuk memberi mereka secuil harapan.

"Jayen sebenernya udah pengem bangun, tapi jiwanya masih kayak ditahan sama alam bawah sadarnya," ucap Nartha dengan lirih.

Hiran mengangguk pelan, air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya mengalir pelan di pipinya. Mereka berdua tetap di tempat mereka, menjaga Jayen dengan harapan yang baru. Rasa bersalah itu mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang, tapi setidaknya, ada harapan bahwa mereka semua bisa kembali bersama-sama, seperti dulu.

Jayen masih berjuang. Dan mereka akan terus menunggu, apapun yang terjadi.

bimantara.
chapter 16; to be continued.

[i] bimantara [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang