Gemi adalah seorang wanita muda berusia 25 tahun, dengan kehidupan yang bisa dibilang sederhana, penuh rutinitas, dan terkesan monoton. Sejak kecil, Gemi tumbuh dalam keluarga yang hangat meski tidak berlimpah harta. Orangtuanya, yang sudah berjualan nasi goreng sejak Gemi masih kecil, merupakan sosok pekerja keras yang selalu berusaha memenuhi kebutuhan hidup mereka. Setiap sore hingga malam, aroma gurih nasi goreng yang dimasak oleh ayahnya memenuhi udara di sekitar rumah, menarik pelanggan yang sudah setia selama bertahun-tahun. Ibu Gemi membantu menjaga kedai, melayani pembeli dengan senyum ramah yang seolah tidak pernah lelah meskipun hari itu terasa panjang.
Meskipun Gemi anak tunggal, ia tidak pernah merasa kekurangan cinta kasih dari kedua orangtuanya. Namun, ada satu hal yang selalu membuatnya merasa sedikit berbeda dari anak-anak lain di sekitar lingkungannya. Ia sering merasa, hidupnya terjebak dalam pola yang sama setiap harinya, tanpa banyak pilihan atau kesempatan untuk melarikan diri dari rutinitas yang sudah ia kenal sejak kecil.
Di sore hari sehabis pulang dari pabrik, Gemi selalu membantu orangtuanya menyiapkan bahan-bahan untuk jualan. Meski pekerjaannya di pabrik cukup menyita waktu dan energi, Gemi selalu memastikan ia sempat membantu ayah dan ibunya, walaupun hanya beberapa jam. Ia memotong sayur, menyiapkan bumbu, atau membantu membersihkan peralatan masak. Kehidupan ini bukanlah kehidupan yang ia benci, tetapi ada saat-saat di mana Gemi bertanya-tanya, apakah ada sesuatu yang lebih untuknya di luar sana—sesuatu yang belum pernah ia temui.
Gemi berangkat bekerja ke sebuah pabrik farmasi kecil di pinggiran kota. Pekerjaannya di pabrik mungkin tidak terlalu glamor, hanya seorang admin PPIC, namun ia pandai dan telaten. Gemi diandalkan oleh rekan-rekannya, terutama karena ia rajin dan jarang mengeluh. Setiap hari, ia mengerjakan tugasnya dengan hati-hati, memastikan semua alur proses produksi sesuai rencana. Ia senang dengan kesibukannya di pabrik, meski itu berarti ia harus bertahan dalam rutinitas yang sama setiap hari—bangun pagi, bekerja seharian, lalu pulang dan membantu orangtua hingga larut malam.
Di sela-sela kesibukannya, Gemi menyempatkan diri untuk merenung tentang hidupnya. Teman-teman seusianya, sebagian besar, telah memiliki tujuan yang lebih jelas—beberapa sudah menikah, sementara yang lain berhasil meraih karier yang lebih baik di kota besar. Sementara itu, Gemi masih merasa terjebak di titik yang sama sejak ia lulus SMA. Ia tidak menyesal dengan keputusannya untuk bekerja di pabrik, namun ada rasa ragu yang kadang muncul. Apakah hidupnya akan terus seperti ini? Apa yang ia inginkan sebenarnya? Apakah ini kehidupan yang ia impikan?
Tetapi, Gemi adalah orang yang pandai menyembunyikan perasaan. Senyum yang ia tunjukkan kepada teman-temannya di pabrik selalu terlihat ceria dan tenang. Bahkan ketika ia merasa gelisah dengan arah hidupnya, ia tidak pernah mengungkapkannya secara terang-terangan. Ia cenderung menjadi "people pleaser," selalu berusaha membuat orang lain nyaman dengan keberadaannya, bahkan jika itu berarti ia harus menekan perasaannya sendiri. Gemi tidak ingin merepotkan orang lain, apalagi menambah beban pikiran orang tuanya yang sudah bekerja keras setiap hari.
Sebagai anak tunggal, tanggung jawab moral untuk tetap tinggal bersama orangtua juga sering membebani pikirannya. Meski tidak pernah ada tekanan eksplisit dari ayah dan ibunya untuk tetap tinggal dan membantu, Gemi merasa tak mungkin meninggalkan mereka. Ia adalah bagian penting dari roda kehidupan keluarga kecil ini, dan Gemi tahu bahwa tanpa kehadirannya, segala sesuatu mungkin akan terasa lebih sulit bagi orang tuanya.
Sesekali ada rasa kesepian yang kadang menyelinap masuk. Bukan kesepian karena kurangnya interaksi sosial, tapi lebih kepada kesepian batin, perasaan bahwa ia belum menemukan tempat sejatinya dalam hidup.
Di lingkungannya, Gemi dikenal sebagai wanita yang baik hati dan rendah hati. Tetangga-tetangganya sering mengagumi betapa rajinnya Gemi, dan bagaimana ia selalu siap membantu orang tuanya meski setelah seharian bekerja keras di pabrik. Banyak yang berpikir bahwa Gemi adalah contoh anak yang berbakti dan perempuan yang patut dihargai. Namun, di balik senyum itu, Gemi menyimpan banyak pertanyaan tentang hidup yang mungkin tidak dipahami oleh orang-orang di sekitarnya.
Dan di tengah-tengah semua itu, ada Nadif.
Nadif adalah tetangga sekaligus teman sepermainan Gemi sejak kecil. Seiring waktu, mereka berdua tumbuh menjadi orang dewasa yang memiliki kesibukan masing-masing, tetapi anehnya, mereka tidak pernah benar-benar terpisah. Nadif bekerja di pabrik yang sama dengan Gemi, meskipun di divisi yang berbeda. Mereka sering berpapasan, saling menyapa, bahkan kadang berbagi cerita ringan tentang pekerjaan atau hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari. Namun, hubungan mereka tetap terasa dangkal, tidak pernah lebih dari sekadar teman.
Bagi Gemi, Nadif adalah bagian dari rutinitas hidupnya. Pria pendiam dan pemalu itu selalu ada di sekitar, seperti bayangan yang akrab namun tak pernah benar-benar dekat. Meski begitu, di dalam hati Gemi, ada perasaan yang sulit ia abaikan. Gemi sudah lama menaruh perasaan pada Nadif, meskipun ia selalu menolak untuk mengakui hal itu secara terang-terangan, bahkan kepada dirinya sendiri. Baginya, menyukai Nadif adalah satu-satunya hal yang membuat hari-harinya lebih berwarna, meskipun ia tahu perasaan itu tidak akan pernah terbalas.
Namun, ada momen-momen kecil yang mungkin tidak disadari oleh Gemi—tatapan singkat yang ditangkap dari sudut mata, cara Nadif memperhatikan ketika Gemi sedang berbicara dengan orang lain, atau keheningan nyaman yang terjadi di antara mereka. Meski hal-hal itu sering terlewatkan dalam kesibukan hidupnya, perlahan-lahan, perasaan yang selama ini tersembunyi mulai muncul ke permukaan, meski Gemi masih belum menyadarinya.
Hingga kini, kehidupan Gemi tetap berjalan seperti biasa. Ia tetap bekerja di pabrik, membantu orang tuanya, dan melanjutkan rutinitas harian tanpa perubahan besar. Namun, ada sesuatu yang mulai tumbuh di dalam dirinya—keinginan untuk memahami apa yang sebenarnya ia cari dalam hidup. Apakah rutinitas ini yang akan ia jalani selamanya? Apakah ada hal lain di luar sana yang belum ia temukan? Dan apakah Nadif, pria yang selama ini kagumi dalam diam juga merasakan hal yang sama?
Dengan berbagai pertanyaan yang mulai mengusik pikirannya, Gemi tidak tahu bahwa kehidupannya akan segera berubah. Sebuah perubahan yang tidak ia duga, dan mungkin akan membawanya pada perjalanan perasaan yang selama ini ia abaikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siklus Rasa
General FictionSiklus Rasa Ketika kau berpikir sudah tahu segalanya tentang cinta, hidup punya cara sendiri untuk membuatmu salah. Sejak remaja, Gemi selalu berusaha menganggap Nadif hanya sebagai tetangga biasa-pria pemalu yang selalu ada, tapi tak pernah benar-b...