001

8 1 1
                                    

Rumah bertingkat dua itu terlalu terikat dengan kata terkadang. Terkdang ramai, terkadang hening yang benar-benar hening. Namun, tampaknya pagi ini suasananya sangat hangat, seperti sinar mentari.

Ada Pangestu yang sedang sibuk membalikan telur dadar, Si Kakak Pertama yang bertanggungjawab terhadap tiga adiknya. Pradana baru saja turun dengan wajah kusut, tampaknya baru saja mendapat sebuah pukulan kecil dari Cakra. Sedangkan Aura, menatap malas dua orang yang baru saja turun dari tangga tersebut. Ah, selalu seperti ini.

Rumah biasanya tidak seramai ini apabila Pangestu tidak ada di rumah. Kedua kakaknya yang lain selalu sibuk dengan urusan masing-masing, membuat Aura terkadang jenuh, kesepian dan terlihat malang.

"Pradana, cuci muka dulu, kita makan bersama." Pangestu melambaikan tangan dan menyuruh adik keduanya itu turun.

Pradana menguap lebar, "Oke, aku turun," ujarnya.

Jitakan keras mendarat di kepala Pradana, Cakra pelakunya, "Cepet turun, berangkat sekolahnya bareng Si Bungsu," ujarnya.

Si Bungsu? ya, itulah sebutan Aura di rumah ini. Sebenarnya masih banyak julukan lain. Psikopat Kecil, Setengah Singa, Robot Gila, itu hanya sebagian kecil julukannya, tentu saja masih banyak yang lain. Tapi, kalau boleh memilih, sebutan Si Bungsu itu terdengar lebih baik.

Aura menuangkan air ke dalam gelas, secukupnya. Kemudian sembrono menunjuk Pradana, "Duduk ih! nanti aku telat lagi. Kakak bisa lolos karena OSIS nya takut sama Kakak, lah aku? dijemur sampai gosong!" gerutunya.

Pradana terkekeh sinis, "Lebay kamu!" balasnya.

Pangestu hanya menggelengkan kepala, melepas apron dan mengangkat piring yang sudah siap dengan telur dadar di atasnya. Tidak hanya itu, di meja makan sudah tersaji menu sarapan mereka, 4 sehat 5 sempurna.

Melihat itu, Pradana cepat-cepat mencuci mukanya dan bergabung di meja makan dengan enam kursi tersebut, dua kursi di ujung selalu kosong.

"Ini, enaknya Kak Estu pulang. Perut kita punya makanan enak," Ujar Cakra seraya menyuapkan satu sendok nasi goreng.

Benar sekali, Pangestu yang hanya bisa pulang beberapa kali dalam sebulan adalah berkah untuk mereka. Pasalnya, diantara Aura, Cakra dan Pradana tidak ada satu orang pun yang bisa memasak. Jadi, berkah besar bisa merasakan makanan rumahan yang dibuat Pangestu, percaya tidak percaya rasanya memang seenak itu.

Sarapan itu kemudian berlangsung dengan hangat, perdebatan kecil Aura dan Pradana yang mendominasi, sedangkan Cakra dan Pangestu menyimak, menggeleng-gelengkan kepala.

🐛🐛🐛

"Tuh, kan! telat lagi!"

Pradana menutup telinganya, bosan sekali mendengar ucapan yang sama berulang kali, menyebalkan. Dia berjalan lebih cepat, meninggalkan adiknya yang cerewet seperti robot rusak itu.

"Kak ihh! nanti ak-"

Pradana menoleh, "Udah lah, Au, yang penting nggak dihukum, kan?" Potongnya cepat.

Aura melemparkan ranselnya, "Tapi udah dicatet 5 kali telat, emang Kakak mau nemenin aku dihukum, nggak, kan?" kesal gadis itu. Ransel kuningnya bahkan mendarat tepat di punggung Pradana.

Dengan sabar, Pradana memungut ransel itu dan menggendongnya di bahu sebelah kanan. Dia menghampiri Aura yang sedang berdiri dengan kaki selebar bahu dengan tatapan tidak bersahabat, jangan lupakan alisnya yang mengerut seperti nenek tua itu.

Lelah? tentu saja. Tapi bukan hal aneh menghadapi Aura yang seperti ini, sudah makanan sehari-hari. Sepertinya semesta juga tahu bagaimana sabarnya Pradana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

UTOPIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang