Chapter 9- Renjiro - Tantangan Baru

27 15 28
                                    


Saya berdiri di sudut, melihat semua peserta berkumpul dengan wajah tegang. Lampu sorot menerangi panggung, menciptakan bayangan panjang di dinding. 

Saat Laura mulai berbicara, jantung saya mulai berdebar keras, memecah keheningan.

“Kami sangat menghargai usaha semua tim, namun tentu harus ada yang tereleminasi. Dan orang pertama yang harus meninggalkan kompetisi adalah ... Clarissa," ucap Laura.

Kata-kata Laura seperti petir di siang bolong. Saya menoleh ke arah Clarissa. Wajahnya memucat, dan matanya terlihat kosong, seolah kehilangan arah.

Dari sudut pandang saya, setiap ekspresi di wajahnya terasa menyayat hati. Dia menatap ke bawah, seperti mencari jawaban di lantai. Melihatnya begitu terpukul, beban yang saya rasakan di dada semakin berat. 

Saya ingin mendekatinya, tetapi saat ini syuting masih berlangsung. Saya tidak ingin apa yang rasa rasakan tertangkap kamera, oleh karena itu saya mengurungkan niat.

Saat Clarissa terlihat akan mulai berbicara, mendadak Sinta mengangkat tangannya dengan gemetar, "Tunggu. Ada yang ingin saya sampaikan,” Suaranya bergetar, tetapi ada keteguhan di matanya. “Ayah saya sakit keras. Saya ingin berada di sampingnya sebelum operasi besar.”

Raden, yang duduk di sebelah juri lainnya, menatap Sinta dengan skeptis. “Ini adalah kompetisi, bukan tempat untuk mencari belas kasihan,” jawabnya, suaranya tajam dan menyudutkan.

Namun, saat Sinta melanjutkan, “Jika saya tidak bisa melihatnya sekarang, saya tidak tahu apakah saya akan memiliki kesempatan lain,” keheningan menyelimuti ruangan. Semua peserta menahan napas, menanti keputusan.

“Baiklah,” Dokter Adi akhirnya berbicara, “kita harus memberi kesempatan pada Sinta.” Nia dan Budi mengangguk. Saya melihat Clarissa menahan napas, harapan yang terpendam di matanya mulai bangkit kembali.

Dewan juri berdiskusi sejenak dengan tim produksi sebelum akhirnya Laura menyampakain keputusan.

“Tim Clarissa tetap utuh,” Laura mengumumkan. Namun, meski ada sedikit kelegaan, ketegangan masih terasa. Wajah Clarissa tampak campur aduk antara lega dan bingung, seolah-olah dia belum sepenuhnya bisa merasakan situasi ini.

***

Eliminasi perdana telah terlewati. Saat ini, seluruh peserta tengah berkumpul untuk sarapan. Aroma harum makanan memenuhi ruangan, tetapi itu tidak cukup untuk mengangkat suasana hati. Saya melihat Clarissa duduk sendirian di meja, menatap piringnya yang hampir utuh. Wajahnya datar, dan saya bisa merasakan kekecewaan yang dalam.

Kayla mendekatinya dengan senyum yang terkesan sinis. “Wah, enak, yah, jadi nona besar. Bisa lolos eliminasi karena belas kasihan orang lain," Nadanya tajam, membuat suasana semakin menekan.

Clarissa menatap Kayla dengan tatapan kosong. Hening. Clarissa tidak membalas celotehan Kayla. Tanpa sepatah kata, dia meninggalkan ruang makan dan berlari ke luar hotel. Sepertinya menuju area pantai.

Melihatnya begitu terpukul membuat hati saya sakit. Saya tidak ingin Clarissa merasa sendirian. Dengan langkah pasti, saya yang sedari dari sedang antri untuk mengambil sup, membatalkan tindakan itu dan mengejar Clarissa.

***

Ombak menghantam karang dengan lembut, menciptakan ritme menenangkan. Angin sepoi-sepoi berembus, membawa aroma garam laut yang segar. Saya melihat Clarissa berdiri di tepi pantai, wajahnya tertunduk, seolah dia berusaha menghilangkan segala beban.

“Renji,” ia memanggil, suaranya pelan, seperti terjebak dalam pikirannya sendiri.

“Clarissa,” saya menjawab, berusaha menampilkan senyuman yang menenangkan. “Apa yang kamu lakukan di sini?”

“Gua mau nenangin diri sejenak,” katanya, suaranya serak. “Gua males aja dengerin celotehan si makhluk astral.”

“Ingat, kita di sini untuk impian kita masing-masing. Yang lalu biarlah berlalu. Masih ada tantangan-tantangan lain yang perlu dilalui." Saya mencoba menenangkan Clarissa semampu saya.

Ia mengangkat kepala, menatap saya, dan saya melihat secercah harapan di matanya. “Lo bener, Ren. Gua harus bangkit lagi,” jawabnya, suaranya mulai tegas. Ada kebangkitan semangat yang terlihat di wajahnya.

“Ya, tunjukkan pada mereka siapa kamu sebenarnya. Saya ada di sini untuk mendukungmu,” ucap saya, merasakan kedekatan yang mendalam dalam momen itu.

Kami berdiri di tepi pantai, angin berembus lembut membawa harapan baru. Clarissa menarik napas dalam-dalam, lalu tersenyum, meski senyum itu masih tampak rapuh. “Sip. Gua siap buat challenge selanjutnya.”

***

Proses syuting untuk episode terbaru akan dimulai. Seluruh peserta dikumpulkan di satu tempat.

Saya bisa merasakan semangat Clarissa yang mulai terbangun kembali. Dia terlihat lebih percaya diri, siap menunjukkan kemampuannya kepada semua orang.

"Selamat datang kembali para peserta! Selamat kepada kalian yang berhasil lolos ke babak selanjutnya. Sekarang, saya harap kalian siap untuk tantangan selanjutnya. Tema untuk tantangan kedua adalah Solver Innovation Challenge," ujar Laura dengan suara lantang.

Bersambung

BEST IN CLASS (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang