Jam sudah menunjukkan pukul 16:15 waktu setempat. Louise sudah keluar sejak satu jam yang lalu. Bersekolah disini tidaklah buruk. Lihat saja, kini Louise sedang berdiri bersama laki-laki sebayanya. Arthur Caldwell namanya, teman sebangku juga merangkap sebagai teman pertama yang Louise punya.
Tak berselang lama Mercy G-Class berhenti di depan mereka berdua. Seorang pria seumuran papanya terlihat keluar, memakai kacamata hitam hingga membuatnya terlihat semakin menawan.
Arthur menampakkan ekspresi kesal dengan tatapan malas yang dilayangkan ke arah pria di depan. Sungguh banyak gaya sekali pikirnya.
"Ah lihatlah, sepertinya putra pendiamku sudah mempunyai teman baru." basa-basi yang dilayangkan pria tersebut hanya dibalas tatapan tajam.
"Diamlah!"
"Bagaimana sekolahmu hari ini, Arthur?."
"Sedikit menarik." Seringai Arthur juga lirikan yang dilemparkan ke arah Louise membuat bocah itu keheranan. Lalu dengan santai,Arthur berjalan meninggalkannya sendirian.
"See you, Buddy." Suara bariton pria yang lebih tua mengalun di telinganya. Hingga beberapa saat mobil melaju, pandangan Louise masih tetap terpaku. Dasar tidak jelas!
⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️
Sudah dua jam Louise menunggu jemputan. Namun sama sekali tak ada yang datang. Padahal hari semakin petang, mau berjalan pun ia teringat dengan apa yang Aldrich katakan. Lagipula ia tak tau jalanan sekitar tempat ini. Saat berangkat sekolah tadi, jalanan sama sekali tak ia perhatikan. Hanya sibuk dengan candaan yang ia dan Aldrich keluarkan.
Sementara Aldrich baru saja selesai meeting dengan koleganya. Dalam benaknya seperti ada yang lupa, tapi ia tak ingat apa.
Rolls-Royce La Rose Noire Droptail membelah padatnya jalanan kota. Sungguh rasa lelahnya tak terkira. Rasanya Aldrich ingin cepat cepat mengistirahatkan tubuhnnya.
Kembali lagi pada Louise. Ia sudah mantap berjalan pulang, walaupun beberapa kali tersesat tetapi kakinya seolah tak ingin berhenti sebelum sampai rumah. Jahat sekali Aldrich pikirnya, memberikan harapan palsu kepadanya, juga Aaron, Ayhner dan Axton. Apakah mereka tak curiga jika ia belum pulang juga. Jika tau seperti ini ia akan mengesampingkan rasa malunya untuk meminta ayah Arthur mengantarkan pulang. Pandangannya kini sudah buram akibat terhalang cairan bening bak lapisan kaca. isakan samar samar keluar dengan tatapan menunduk ke arah jalanan.
"hiks, sialan."
⬇️⬇️⬇️⬇️⬇️
Aldrich kini sudah sampai di kediamannya. Menghela nafas lega, tak lupa memarkirkan mobilnya. Di dalam sudah ada tiga orang putranya yang menampilkan raut berbeda.
"Louise mana?" dengan cepat Aldrich bertanya saat tak melihat eksistensi salah satu putranya. Kernyitan nampak jelas di dahi mereka. Menandakan tak tau apa-apa.
"Bukannya Louise bersama Papa?" Suara dingin Axton mengudara. Kali ini ia tak bisa berpikiran positif terhadap adiknya.
Bodoh! Aldrich baru ingat jika ia berkata akan menjemput putranya. Kakinya terasa lemas seketika, pikirannya berkelana. bagaimana jika sesuatu terjadi padanya. Tanpa berkata ia segera berlari keluar. Sial, ia seolah tak mempunyai pijakan lagi. Aldrich tak bisa membayangkan jika suatu hal buruk terjadi.
Ketiga laki-laki disana nampaknya dapat membaca situasi yang terjadi. Wajah pias tak dapat Axton hindari. Tubuhnya limbung, beruntung Ayhner dengan cekatan menangkap tubuh yang terkulai bak jelly. Pandangan kosong kini kembali. Pikiran buruk tak bisa Axton tampik lagi.
"Tidak tidak tidak, Casey tidak boleh pergi lagi." Tangisan pilu kini terdengar lagi, membuat dua laki-laki yang lebih dewasa memalingkan muka.
"Dia tak akan bisa pergi Axton, dan akan selalu ada disini." tekan Ayhner berusaha menenangkan adiknya yang seolah tak berdaya. Melihat Axton seperti ini, hatinya amat sakit dan tak tega.
"Aldrich sialan, jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan, maka kau yang aku salahkan." Aaron benar benar geram sekarang. Bagaimana bisa papanya lupa. Dengan cepat ia sambar kunci mobil disampingnya.
"Ayhner kau tetap disini, biar kakak yang mencari."
"Cukup tenangkan Axton dan jangan biarkan dia sendiri." Dengan terburu buru ia berlari keluar, menuju garasi tanpa mendengar jawaban yang Ayhner berikan.
"Kakak mohon, jangan lagi."

KAMU SEDANG MEMBACA
BARREY (Hiatus)
General FictionTentang Louise Faine Barrey, anak laki-laki 12 tahun yang terjebak dalam sebuah keluarga hingga tak bisa menemukan jalan keluarnya. Mereka selalu memastikan Louise ada dalam jangkauannya, ditambah lagi dengan putra ketiga yang mengalami gangguan jiw...