Pagi ini, mereka kembali sarapan bersama. Berhari-hari, kegiatan yang menyenangkan itu terus berulang. Semua wanita di pulau tampak menikmati setiap momen, tertawa dan bercengkerama, namun tidak dengan Destiny. Ia duduk di sana, merasa bosan dan lelah dengan kehidupannya yang tak kunjung berubah. Hari-harinya terasa seperti salinan yang terus diputar ulang, tanpa ada sesuatu yang membuatnya merasa hidup.
Dan di saat tengah hari, para gadis sibuk merawat diri mereka. Mereka duduk bersama, memakai masker wajah, melakukan perawatan rambut, dan menikmati suasana yang santai. Namun, di tengah momen itu, Destiny mulai merasakan ada sesuatu yang kurang. Sebuah perasaan hampa dan aneh muncul, membuatnya gelisah. Ia mengernyitkan dahi, berpikir keras, hingga akhirnya menyadari bahwa temannya, Clara, belum muncul sejak sarapan pagi tadi.
Dengan ragu, Destiny menoleh ke teman di sebelahnya, seorang gadis berambut pirang yang sedang memoles kuku.
"Hei, kamu lihat Clara?" tanya Destiny sambil berusaha tampak tenang.
Gadis itu menatap Destiny sebentar, lalu tersenyum samar. "Clara? Siapa itu?"
Destiny tertegun. "Clara. Temanku. Dia selalu duduk di sebelahku saat sarapan."
Gadis itu mengerutkan kening, lalu tertawa kecil. "Aku tidak tahu siapa yang kamu maksud. Di sini tidak ada yang namanya Clara."
Kata-kata itu membuat hati Destiny berdebar kencang. Dengan cepat, ia menoleh ke gadis lain di seberangnya. "Kamu pasti tahu Clara, kan? Yang rambutnya cokelat, sebahu?"
Gadis itu menggeleng tanpa ekspresi. "Aku tidak ingat ada orang seperti itu di sini."
Destiny menelan ludah, merasakan kebingungan dan ketakutan menyelimuti pikirannya. "Tapi... Clara ada di sini. Aku tidak mungkin salah."
Beberapa gadis lain yang mendengar percakapan mereka ikut melihat ke arah Destiny, namun semuanya menggeleng dengan kebingungan yang sama. Tidak ada yang mengenal, atau bahkan mengingat Clara.
Destiny terdiam, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi, tetapi semakin ia berpikir, semakin besar kebingungan yang melanda.
Kepala Destiny berputar, mencoba mengingat setiap detail tentang Clara, tapi ia tak menemukan jawaban yang pasti. Semuanya terasa kabur, seakan-akan ingatannya terkunci di balik tirai yang tak terlihat.
Sore harinya, ketika ia duduk berdua dengan Sarah, seorang gadis yang tampak lebih tenang dari yang lain, Destiny mencoba sekali lagi menanyakan tentang Clara. Namun, jawabannya tetap sama.
"Clara? Aku benar-benar tidak tahu siapa itu," jawab Sarah, mengerutkan kening.
Destiny menghela napas dalam-dalam, lalu teringat sesuatu. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah korek api kecil. "Clara memberiku ini,dia yang malam itu mengukir namanya sendiri. Lihat, namanya tertulis di sini."
Sarah melihat korek itu dengan penuh perhatian. Namanya terukir jelas: Clara. Awalnya, Sarah tampak bingung, tapi kemudian wajahnya berubah.
"Clara... Tunggu sebentar," gumam Sarah. "Itu terdengar... familiar."
"Jadi, kamu mengingatnya?" tanya Destiny dengan harapan.
Sarah mengangguk pelan, meskipun tampak ragu. "Ya... sedikit. Aku... aku tidak yakin, tapi sepertinya aku pernah mendengar nama itu."
Perlahan-lahan, mereka mulai berbagi pikiran. Sarah mulai percaya pada Destiny, dan mereka mendiskusikan keanehan yang terjadi di pulau itu. Saat percakapan berlanjut, mereka mulai menyadari sesuatu yang lebih mengganggu.
"Kita sudah berapa lama di sini, Destiny?" tanya Sarah tiba-tiba.
Destiny terdiam, mencoba mengingat, namun tak bisa menjawab. Ia tidak ingat. Hari-hari di pulau itu terasa kabur. "Aku... aku tidak tahu. Bahkan, aku tidak ingat hari ini hari apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
life in a cage
Short Story"Life in a Cage" Hidup seorang gadis berubah drastis setelah sebuah pertemuan tak terduga. Terjebak dalam situasi yang rumit, ia mendapati dirinya terkunci dalam kehidupan yang tak pernah ia inginkan. Dengan segala keterbatasan yang mengikatnya, ia...