"Jangan lupa Sabtu jam tujuh malam gue jemput."
"Hah?" Seingatku aku dan Mayang tidak ada janji apapun. Apalagi di hari Sabtu. Dia memang biasa datang kerumahku tanpa janji maupun izin. Seperti kali ini, datang tanpa diundang dan menguasai kasurku. Sambil meneruskan kegiatanku menghapus make-up.
"Loh? Kan bakal ada reuni nanti Sabtu, lo kan udah setuju kemarin." Terang Mayang yang membuat alisku making mengerut.
"Ka-." Belum selesai aku berbicara Mayang kembali berbicara.
"Jangan bilang lo lupa?" Tuding Mayang padaku. Dengan hanya melihat ekspresiku yang mengerut Mayang kembali berbicara.
"Heh anying. Kemarinkan gue nelpon lo. Ada reuni SMA. Terus lo bilang iya-iya aja." Belum sempat lagi suara ku keluar dari tenggorokan, sahabat dari zaman embrioku itu kemballi bersuara.
"Gue engga mau tau. Lo harus dateng. TITIK. Gue ga mau nerima alasan apapun ya. Udah berapa kali lo mangkir reuni tahunan. Lo harus liat tu monyet sekarang dah glowing pake duit sugar daddy-nya. Dan lagi ya gue udah nanya Mas Didi lo ngga ada lembur hari Sabtu." Jika sudah seperti itu aku tidak lagi bisa untuk beralasan.
Mas Didi itu atasanku di kantor. Pacar Mayang yang mana akku tidak bisa berbohong mengenai jadwal kerjaku. Dan si "monyet" yang dibicarakan Mayang adalah teman sekelas kami yang dulunya pernah menikung Mayang. Mantannya-Roni berselingkuh dan lebih membela si "monyet" pada saat Mayang melabrak mereka berdua di kelas.
.
.
.
Berkali-kali aku mengecek layar ponselku. Benar ini hari Sabtu. Hari dimana aku akan bertemu dengan teman-teman semasa SMA-ku dulu.
"Huh, lo pasi bisa Mil."
Semangatku pada diriku sendiri. Bukannya apa, jika ada reuni seperti itu banyak sekali pertanyaan bermunculan yang membuatku muak sendiri. Seperti;
"Eh mana gandengannya? Sendiri aja gue liat dari tadi."
"Kapan nikah, kita lo udah punya anak gini lo masih aja sendiri."
"Enak lo nikah, tidur ada yang nemenin, susah ada yang bantuin."
Dan masih banyak pertanyaan menyebalkan lainnya. Apa salahnya menjomblo di usia dua puluh lima tahun? Aku masih muda. Usiaku itu usia emas untuk bekerja. Dan apa tadi, enak? Nikah enak? Ada yang nemenin? Ada yang bantu pas susah? Rasanya aku ingin berteriak ditelinganya dan berkata.
"HEH, kalo enak ga usah so so an chat gue buat minta pinjem duit ya! Minta aja sama suami lo yang selalu bantu itu."
Suasana yang sudah bisa kutebak. Teriakan bocil mulai menggema, bisik-bisik dan suara tawa dari berbagai sumber sudah bisa tertangkap gendang telingaku. Kulirik manusia disampingku yang tidak lain dan tidak bukan Mayang Putri Bagaskara. Putri dari Bapak Bagaskara, yang sedari tadi menjemputku sudah menunjukan senyum yang tidak luntur. Apalagi dengan manusia disebelahnya Mas Didi tercinta.
"Wih, gila demi apa manusia sibuk satu ini menyematkan dateng ke reuni?" Baru saja batang hidungku terlihat sudah ada manusia yagn mengomentariku. Memang siapa lagi manusia yang mangkir dengan alasan sibuk selai diriku.
Aku benci menjadi pusat perhatian. Dan Raka- temanku semasa SMA yang berteriak mengomentariku tadi. Membuat semua pasang mata beralih kepadaku. Tidak kusangka, banyak juga yang kaget melihat kedatanganku.
"Duduk, sini duduk depan gue." ajak Raka dengan muka sumpringah.
shit.
Baru saja kududukan bokongkuk ke kursi. Tangan Raka sudah gesit memberikan satu lembar kertas yang mana sudha kutebak isinya undangan pernikahan. "Jangan lupa dateng. Harus bawa gandengan. Khusus lo Mil, harus bawa gandengan." Terangnya sambil melirik sampingku yang entah tanpa kusadari ternyata sudah ada orang yang mendudukinya.
Jika kalian bertanya dimana Mayang dan Mas Didi-nya. Sudah pasti berkeliling memamerkan kemesraan terutama pada si monyet.
double shit.
"Hai?"
fuck, anjing, babi, shit, shit, shit.
Seharusnya aku sudah menebak, jika dia pasti datang ke acara ini. Kubalas sapaan basa basi tadi sambil sesekali menengok sang empu.
Dia.
Alasanku mangkir dalam acara reuni atau acara-acara lain yang melibatkan teman-teman SMA ku. Rasa apa ini, mengapa kurasakan jantungku berdetak lumayan tak menentu? "Hei dia sekarang cuma temanmu Mili. Engga usah lebay deh, semuanya sudah selesai."
Rutukku dalam hati dan terus berusaha bersikap biasa saja dishit-tuasi ini. Mulai bersautan suara teman-temanku yang menggoda kami berdua. Yang kulakukan hanyalah menanggapi dengan seadaanya sampai mereka lelah sendiri.
Jadi posisiku kali ini benar-benar tidak menguntungkan. Di meja yang panjang ini. Tidak ada teman SMA-ku yang berjenis kelamin perempuan, mereka sudah membentuk kelompok sendiri dipojok-pojok kafe. Oh dan dari percakapan teman-temanku ini aku baru mengetahui jika kafe yang kami buat reuni ini adalah milik salah satu temanku.
"Oh ini kafe punya lo?" Tanyaku pada Rafi si pemilik kafe.
"Iyalah, lo si udah gue undang juga pas peresmian malah ngga dateng. Tu si Mayang aja dateng malahan sebelum sama yang itu tuh." Jelas Rafi sambil menunjuk couple goals kita hari ini dengan dagunya.
Oh aku ingat. Mungkin kejadiannya sekitar dua tahun lalu. Mayang mengajakku untuk datang ke kafe baru yang dimiliki oleh salah satu dari teman SMA kami. Dan sudah pasti aku menolak dengan berbagai alasan. Sudah kubilang bukan aku menghindari segala hal yang berbau masa SMA dikehidupanku sekarang. Yang pasti dan benar adanya yaitu untuk menghindari seseorang yang saat ini duduk persis disampingku.
"Ya gimana sibuk." Jawabku singkat sambil mengangkat sedikit alisku dan sesekali meminum minuman yang aku pesan.
"Eh sekarang gimana" Tanya Malik. Ah dia adalah salah satu orang yang kubenci pada semasa sekolah. Malik itu tukang maling alat tulis, sudah entah berapa lusin pulpenku yang dia ambil.
Kuangkat kembali alisku merespon pertanyaanya. Gimana apanya? Apanya yang gimana?
"Apasi? Lo kalo ngomong mbok ya SPOK dipake. Ngomong lo potong badannya doang mana orang ngerti." Balasku sedikit ketus, memang peringaiku itu judes dan ketus. Aku tidak suka basa basi, melelahkan.
"Njirr, masih aja judes mbak?" Yang dibalas tawa dari teman-temanku lainnya.
"Itu lo, gimana proges hiduplo? Udah ada yang gantiin Ge apa belom? Soalnya dari setelah berita kalian putus sosmed lo sepi amat."
Semua mata menuju arahku menatap penuh minat. Menelisik dan menunggu apa yang akan aku katakan setelahnya.
Sambil menghela nafas "No face no case." jawabanku yang membuat orang disebelahku menghela lelah. Sepertinya.
YOU ARE READING
Fragments of A lost Era
Fiksi Umum"Kalo gue lebih sabar dan lebih percaya sama lo kita sekarang kaya gimana ya?" Hening. Tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutkku. Sejujurnya akupun menanyakan hal yang sama. Tetapi jika dia sabar dan lebih percaya seperti apa yang dia...