Syuting episode kedua Best in Class telah dimulai. Peserta dibagi menjadi dua tim secara acak oleh Laura. Timku terdiri dari Ryan, Mira, dan Arif. Syukurlah, aku tidak satu tim dengan Kayla; celotehannya masih membuatku merasa tidak nyaman.
Tantangan kali ini cukup menarik, dengan tema Solver Innovation Challenge. Kami diberikan laporan keuangan dari restoran fiktif bernama Local Sour. Meskipun tidak ada di dunia nyata, data yang digunakan diambil dari restoran sungguhan. Tugas kami adalah menciptakan inovasi untuk mengatasi permasalahan yang ada.
Kami berkumpul di ruang meeting yang luas, terpisah dari tim lain. Ruangan ini dikelilingi dinding berwarna netral dan karpet lembut. Pencahayaan hangat menciptakan suasana nyaman, sementara sinar matahari yang menerpa dari jendela besar membuat semuanya terasa lebih hidup. Di tengah ruangan, meja oval besar dikelilingi kursi ergonomis, dengan beberapa laptop terbuka di atasnya, disertai catatan dan alat tulis.
Di sudut ruangan, seorang kameramen siap merekam setiap momen diskusi. Mira duduk di sampingku, laptopnya terbuka. Arif tampak tenang, mencatat ide-ide di kertas kecil, sedangkan Ryan, dengan semangat yang terpancar, sering melempar senyum padaku.
“Oke. Yuk, mulai!” kataku, berusaha membangkitkan semangat tim. Suara kami bergema, menciptakan atmosfer kolaboratif. Kamera bergerak, menangkap ekspresi antusiasme di wajah kami.
Aku memeriksa laporan di tanganku. Local Sour mengkhususkan diri pada masakan lokal, terutama makanan tradisional Indonesia dan kopi. Namun, pendapatan mereka menurun drastis dari Rp1,2 miliar menjadi Rp840 juta dalam setahun. Pengeluaran mencapai Rp900 juta, dengan biaya bahan baku menyumbang 65%.
“Jelas ada masalah besar di sini,” ujarku. “Pengeluaran lebih tinggi dari pendapatan. Mari kita fokus di bagian ini.”
Mira mengangguk. “Mungkin mereka kehilangan pelanggan karena menu yang tidak menarik?”
“Bisa jadi,” Arif menambahkan sambil menelusuri laporan. “Gimana kalau kita merapkan metode Just In Time (JIT) dalam manajemen persediaan kayak yang dipakai KFC?”
“JIT?” Ryan menyela, tampak tertarik. “Jadi mereka hanya beli bahan saat ada pesanan, kan? Itu bisa mengurangi limbah.”
“Betul!” kataku. “Jadi, kalau ada pesanan nasi goreng, mereka baru membeli bahan yang diperlukan saat itu.”
“Sebentar,” Mira menyela. “Ini berisiko saat terjadi lonjakan pesanan. Gimana kalau mereka kehabisan bahan?”
“Setuju,” Arif berkata. “Mungkin bisa dibuat sistem cadangan untuk bahan-bahan tertentu, sehingga saat permintaan meningkat, mereka tetap bisa memenuhi pesanan.”
“Jadi kita bisa merekomendasikan persediaan minimum untuk bahan yang sering digunakan, sambil menggunakan JIT untuk yang lain,” lanjutku.
Kamera bergerak, menangkap momen ketika kami saling bertukar ide. Suasana semakin hidup, semua aktif terlibat. Ryan sekali lagi mencuri pandang kepadaku, seolah mengonfirmasi ide-ide yang kutawarkan.
“Gimana kalau mereka menambah variasi menu?” Ryan berpendapat, matanya bersinar. “Local Sour bisa memasukkan pilihan sehat, seperti salad atau vegetarian. Sushi Tei menarik banyak pelanggan dengan pilihan sushi sehat.”
“Bagus, Ryan!” kataku. “Kita juga bisa memanfaatkan media sosial untuk memperkenalkan menu baru. Seperti yang dilakukan Roti Bakar 88, yang berhasil menarik pelanggan dengan konten menarik dan influencer lokal.”
Mira bersemangat menambahkan, “Kita harus memperhatikan tren saat ini. Banyak orang lebih suka makanan sehat dan Instagrammable. Mereka bisa membuat konten menarik untuk menarik pelanggan.”
“Jangan lupa teknologi,” Arif menambahkan. “Mereka bisa menggunakan aplikasi seperti Moka untuk manajemen. Ini membantu pemilik restoran mengelola penjualan dan inventaris dengan lebih efisien.”
“Bahkan bisa menganalisis data penjualan untuk mengetahui menu yang paling diminati. Jika nasi goreng selalu terjual habis, mereka bisa fokus mempromosikannya,” tambahku.
Kamera mengarah pada ekspresi antusias kami. Diskusi kami semakin hidup, dengan ide-ide mengalir deras. Aku merasakan energi positif dari rekan-rekanku. Semua tampak terlibat, terutama Ryan, yang tampak lebih memperhatikanku daripada yang lain.
“Jadi, kita udah punya beberapa inovasi: penerapan Just In Time, diversifikasi menu, pemanfaatan media sosial, dan teknologi manajemen. Tinggal kita susun rencana presentasi.” Arif merangkum, melirikku.
Saat itu, terlintas di pikiranku ada data penting yang bisa memperdalam diskusi, data tersebut tersimpan di ponsel milikku. Namun, aku baru menyadari ponselku tidak ada. Sepertinya tertinggal di kamar.
“Sorry, gua ke kamar sebentar. Ada beberapa data yang kayaknya berguna,” kataku sambil beranjak dari meja.
Ketika aku melangkah keluar, aku merasakan tatapan Ryan mengikuti langkahku.
“Jangan lama-lama, ya, Clarissa,” ujarnya dengan nada ringan, seolah ingin memastikan aku kembali dengan cepat.
“Oke,” jawabku, berusaha menutupi rasa aneh yang tiba-tiba menyelimuti hati.
***
Melewati lobi hotel, aku terkejut melihat keributan yang terjadi. Seorang pria berwajah oriental berteriak ke arah resepsionis.
“Dia seharusnya ada di sini!” teriaknya, menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
Staf resepsionis berusaha menenangkan pria itu. “Tenang, Pak. Kami akan mencari anak Anda,” katanya, tetapi pria itu tampak semakin marah.
Entah kenapa, wajah pria itu terasa familiar. Jujur saja, aku ingin mendengar pembahasan mereka lebih lama. Namun, aku harus tetap fokus. Dengan lugas, aku melangkah menuju lift.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
BEST IN CLASS (SEGERA TERBIT)
RomanceRenjiro Saputra, pemuda blasteran Jepang dan Indonesia yang sangat menyukai game dan bercita-cita memiliki sekolah game sendiri, namun selalu menghadapi tekanan dari ayahnya yang menginginkan Renjiro untuk menjadi seorang dokter. Di sisi lain, ada C...