Aku selalu memiliki penyesalan yang sama. Kehidupan sehari-hari bersama bersama seorang anak selalu menjadi hal yang paling berharga, namun mengapa sering kali aku mengabaikan segala aspek dalam kehidupan sehari-hari yang berharga itu? Mengapa aku baru menyadari pentingnya hal ini ketika aku merasa putus asa? Pada hari dimana anakku dalam bahaya (diculik), aku baru menyadari betapa pentingnya hal itu, setelah hal itu terjadi.Saat Jeong-oh hendak pergi menuju rumah sakit, Jin-seo memberi cerita singkat tentang penyebab anakku pingsan. Sepertinya anak-anak seusianya merundung Yena karena tidak mempunyai ayah. Apa yang telah aku lakukan pada anakku? Apa yang telah aku lakukan terhadap anak yang baru berusia tujuh tahun? Bahkan saat aku menoleh ke belakang aku benar-benar menyesali apa yang terjadi. Aku tetap mengajari anakku bahwa tidak perlu malu karena tidak memiliki ayah. Karena aku pun juga hidup seperti itu, aku pikir anakku juga akan mampu mengatasinya dengan baik. Lalu, suatu hari, tanpa ragu sedikit pun, aku tiba-tiba mengungkap keberadaan ayahnya. Aku bahkan memaksa anak yang kebingungan itu dengan menyuruhnya segera memanggil Ji-heon dengan sebutan ayah. Dan hari ini.
"Yena terlalu sering menangis akhir-akhir ini. Jangan menangis lagi hari ini. Oke?"
Tentu saja hal yang wajar untuk anak-anak menangis, mereka bisa menangis sepuas mereka mau. Bahkan orang dewasa pun menangis ketika hatinya sakit. Aku memberi anakku banyak tekanan yang sulit hanya karena dia banyak menangis akhir-akhir ini. Aku mengatakan kepada anakku untuk mengatasi sifat kekanakannya. Seberapa sulitkah itu? Betapa sakitnya perasaannya.
Ki-hoon melirik wajah Jeong-oh yang menangis dan meningkatkan kecepatannya. Ini adalah waktu yang mendesak bagi Jeong-oh dan Ki-hoon. Sementara itu, ponselku bergetar lagi. Kali ini Ji-heon. Jeong-oh ragu-ragu dan kemudian menjawab telepon.
"Ya, Direktur."
[Ini alamat rumah sakitnya. Aku menghubungimu karena aku pikir kamu akan sangat khawatir.]
Jeong-oh diam-diam menutup matanya saat mendengar suara tenang Ji-heon. Air mata yang tertampung di kelopak mataku dan menetes ke bawah.
[Kamu sudah menuju ke Seoul sekarang, kan?]
"............"
[Lee Jeong-oh..]
"............"
[Jeong-oh ya...]
Aku mendengar suara yang terus menenangkanku perlahan-lahan. Suara itu benar-benar mengandung kelembutan, dan tenggorokan Jeong-oh tercekat. Jeong-oh hampir tidak menjawab.
"..... Ya, Direktur."
[Jangan khawatir ya, tidak terjadi apa-apa.]
".........."
[Hati-hati dijalan ya. Sampai bertemu nanti.]
Jeong-oh akhirnya menitikkan air mata sambil memegang telepon yang digantung. Ki-hoon, terkejut dengan air matanya, bertanya dengan penasaran.
"Apalagi yang dikatakan direktur? Apakah dia benar-benar tetap ingin menyuruhmu bekerja lembur dalam situasi seperti ini?"
"Tidak, bukan begitu........."
Aku harus menemukan suatu jawaban untuk menjelaskan situasi ini, tetapi aku bahkan tidak dapat mengeluarkan kata-kata, seolah-olah ada batu yang tertancap di kepalaku.
"Saya kira itu karena direktur tidak tahu keadaannya? Kalau menyuruh orang tetap bekerja lembur setelah mengetahui situasi ini, berarti dia adalah sampah."
Ki-hoon, yang menafsirkan sendiri reaksi yang ditunjukkan Jeong-oh setelah direktur menelponnya, menjadi marah. Ki-hoon juga sedih dengan keadaan yang dialami Jeong-oh. Ki-hoon membuat janji dalam hatinya. Jeong Ji-heon, aku akan melindungi Asisten Manager Lee Jeong-oh dengan nyawaku sendiri bahkan dari bos yang tanpa ampun yang tidak memiliki darah atau air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Child Who Looks Like Me / Anak yang Mirip DenganKu
RomantikSeorang Pria bernama Jeong Ji-Heon yang kehilangan ingatannya sebelum melamar pasangannya. Wanita yang percaya bahwa hatinya telah disakiti oleh pasangannya, Lee Jeong-Oh. Keduanya bertemu kembali setelah 7 tahun. Ji-Heon tidak mengingat Jeong-Oh, t...