Jiren duduk dengan santai, memutar bolpoin di jarinya, sementara senyuman penuh arti terukir di wajahnya. Di depannya, Rina dan Arman sudah siap dengan cerita kemenangan mereka.
“Udah beres,” kata Arman sambil menyeringai lebar. “Anak itu lugu banget. Nggak ada curiga sama sekali.”
Rina terkekeh pelan, tangannya memainkan rambut sebahunya. “Oes sendiri yang ngundang kita. Bahkan dia kelihatan seneng banget bisa ngenalin kita ke Jade.”
Jiren mengangkat alis, terlihat sangat puas. “Bagus. Berarti langkah pertama kita udah mulus. Nggak bakal ada yang curiga sama rencana ini.”
Arman menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengusap dagu dengan senyum puas. “Sekarang tinggal eksekusi. Semua bakal berjalan lancar di hari-H.”
Rina menatap Jiren dengan ekspresi sedikit ragu. “Tapi, lo yakin Freya nggak bakal ngeh? Gue liat tadi dia udah mulai curiga sama kita.”
Jiren mendengus ringan. “Freya cuma anak sok pinter yang gampang panik. Jangan terlalu dipikirin. Yang penting, Oes udah percaya penuh sama kita. Sisanya tinggal kita atur.”
Dia menyandarkan punggungnya, matanya menyipit dengan tatapan penuh keyakinan. “Nggak ada yang akan nyangka apa yang bakal terjadi di ulang tahun Jade.”
Rina mengangguk, mulai ikut terbawa semangat. “Jade pasti mikir ini cuma ulang tahun biasa, ya?”
“Bener,” jawab Jiren sambil menyeringai licik. “Dan justru di situlah letak serunya. Kita kasih dia kejutan yang nggak akan pernah dia lupakan.”
Mereka bertiga tertawa pelan. Di kepala mereka, rencana itu sudah jelas. Pada 1 April—ulang tahun Jade sekaligus April Fools Day—mereka akan membuat sesuatu yang luar biasa. Tapi bukan kejutan manis; ini adalah sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan mengguncang.
Rina menggigit bibir bawahnya, seolah masih ada sesuatu yang mengganjal. “Tapi, Jiren... Gue cuma mau pastiin. Ini bakal fun, kan? Maksud gue, nggak bakal kejauhan?”
Arman melirik Rina sekilas, lalu menatap Jiren, seolah ikut menunggu jawaban. Jiren tertawa kecil, nada suaranya dingin tapi mantap. “Relax, Rina. Semua udah gue atur. Ini nggak sekadar prank biasa. Ini pelajaran.”
Rina masih tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk pelan. Arman, yang sudah lama terbiasa dengan cara Jiren berpikir, hanya menepuk bahu Rina santai. “Udahlah. Nanti juga lo bakal liat sendiri. Anak-anak sialan itu nggak akan nyangka apa yang bakal kita kasih.”
Jiren menyeringai lebih lebar, bolpoin di jarinya berhenti berputar. “Lo berdua cuma perlu ikutin rencana. Gue udah pastiin nggak ada celah. Begitu semuanya jalan, Freya bakal tau rasanya jadi pusat perhatian—dengan cara yang beda.”
Rina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Arman menatap Jiren dengan mata berkilat, siap menyambut kekacauan yang mereka rencanakan.
“1 April nanti,” ucap Jiren dengan nada puas, “bakal jadi hari yang nggak bakal mereka lupakan.”
***
Di kamar Mackenzie dan Oes yang penuh dengan poster musisi dan tumpukan komik, keduanya duduk di lantai sambil menikmati waktu santai. Mackenzie sedang fokus membaca komik keluaran terbaru, sementara Oes sibuk memutar-mutar pensil di tangannya sambil berbaring tengkurap. Suasana nyaman sore itu, tapi di kepala Oes, pikiran usilnya sudah mulai bekerja.
"Eh, gue ada ide gila," kata Oes tiba-tiba, wajahnya bersemangat seperti anak kecil yang baru nemu mainan baru.
Mackenzie hanya melirik sekilas, tanpa melepaskan perhatian penuh dari majalah di tangannya. "Apaan lagi, Oes? Gue udah cukup pusing sama ide-ide lu yang terakhir kali."
KAMU SEDANG MEMBACA
SMP Floor 1997
JugendliteraturSMP Floor 1997-- "Ini bukan tentang siapa, tetapi tentang keadilan." • Joebartinez, 1910, setelah penegakkan hukum yang dianggap kurang adil dalam kematian Gartinez. Cerita ini mengikuti kehidupan sekelompok remaja di SMP Flores, sebuah sekolah yan...