Kenapa mereka selalu bertanya tentang bintang yang jatuh? Apakah mereka tak menyadari bahwa bintang tak pernah jatuh, mereka hanya padam, lenyap ditelan kegelapan yang lebih pekat dari malam paling kelam. Bintang jatuh hanyalah ilusi yang diciptakan oleh keputusasaan, harapan yang tersesat dalam gulungan kebohongan kosmis. Seperti doa-doa yang terperangkap di mulut yang tak tahu caranya berbisik.
Aku juga begitu.
“Kenapa kamu di sini?” Suara itu bukan datang dari luar diriku, tapi dari dalam, dari bayanganku sendiri, dari cermin yang memantulkan kekosongan lebih dalam daripada sekadar pantulan wajah. Aku berdiri di tengah ruang besar yang dinding-dindingnya tak terlihat, langit-langitnya menjulang tak berujung, melingkupi tubuhku dalam hampa yang lebih padat daripada udara. Bau asap menyesaki paru-paruku, aroma terbakar yang melekat seperti dosa-dosa yang tak pernah selesai dibersihkan, seperti abu dari mimpi-mimpi yang telah terbakar menjadi arang, atau mungkin sisa-sisa dari jiwa yang hancur lebur.
Di depanku, berdiri sosok lain. Tidak berbentuk manusia sepenuhnya, tidak juga makhluk apa pun yang pernah aku kenal. Ia memakai topeng pucat yang menyembunyikan wajahnya, tapi seakan menyeringai di balik lapisan kertas tipis itu. “Aku di sini karena aku bisa menjadi apa saja,” kataku dengan bibir yang retak dan suara yang lebih kering daripada gurun. “Semua, kecuali Tuhan.”
Nada sarkasme dalam suaraku mengalir seperti racun yang lambat bekerja. Tuhan? Kata itu terlalu sering dilontarkan sembarangan, dilempar dari bibir-bibir yang tak mengerti makna kekosongan yang sesungguhnya. Mereka bicara tentang Tuhan seolah-olah Dia adalah jawaban untuk segalanya, padahal mungkin Tuhan hanyalah gema yang terjebak dalam ruang tanpa waktu.
“Jadi, apa yang kamu inginkan sekarang? Dunia lain untuk dihancurkan? Keajaiban lain untuk dijalani dalam lingkaran yang tak pernah berujung?” tanya topeng itu. Mata—atau seharusnya lubang gelap tempat mata berada—menatapku, tak peduli dan tanpa belas kasihan, seolah-olah tahu bahwa jawabanku hanyalah repetisi kehancuran yang lain.
Aku melangkah mendekat, merasakan dinginnya lantai yang retak di bawah telapak kakiku. “Aku ingin lari,” bisikku, “lari dari pengetahuan bahwa aku bisa mengubah segalanya, tapi tak ada satu pun yang benar-benar berubah. Bahwa aku bisa menjadi apa saja, dan semuanya tetap menjadi apa-apa.”
Kepedihan itu menyelinap dalam benakku seperti bayangan yang bergerak di balik kelopak mata yang tertutup. Aku terjebak di sini, dalam labirin yang terus berubah tetapi tetap sama, di mana dinding-dindingnya adalah mimpi yang membusuk, dan langit-langitnya adalah laut tanpa dasar yang menggulung di atasku, siap menelan segalanya.
Aku keluar dari ruang itu, hanya untuk masuk ke dalam ruangan lain yang lebih aneh. Dinding-dindingnya terbuat dari cahaya yang memancar tanpa sumber, langit-langitnya adalah ombak lautan yang terbalik. Suara air pasang terdengar, memanggil-manggil namaku dengan bisikan lirih yang terputus-putus, seperti suara angin yang lupa caranya bernafas. Setiap desisnya adalah janji yang tak pernah ditepati, panggilan untuk kembali ke sesuatu yang mungkin tak pernah ada, atau mungkin hanya menjadi bayang-bayang dari keputusasaan yang kian dalam.
“Kenapa kamu memilih kehancuran, berkali-kali?” suara topeng itu terdengar lagi, bergema dalam pikiranku. “Bukankah kamu lelah?”
“Lelah?” Tawa keluar dari bibirku, tawa yang terdengar serak dan pecah, seperti kaca yang patah. “Lelah adalah keistimewaan yang tidak bisa aku nikmati. Aku sudah mati rasa. Bahkan kehancuran itu sendiri tak mampu membangkitkan sesuatu yang baru. Kamu tahu, Tuhan atau tidak, apa bedanya? Aku bisa membekukan waktu, meruntuhkan ruang, tetapi keabadian tetaplah fatamorgana.”
Di hadapanku, sebuah cermin besar tergantung di udara, tidak menempel pada dinding atau lantai, tidak terikat pada hukum apa pun yang aku kenal. Cerminnya tidak memantulkan wajahku; yang kulihat adalah bayangan yang semakin gelap, semakin kosong, semakin hilang menjadi sesuatu yang lebih pekat dari malam. “Lihatlah aku,” suaraku berbisik, “orang yang bisa melakukan segalanya, tetapi tetap tidak mampu menghentikan kehancuran.”
Dari balik cermin itu, terbentang dunia lain—atau mungkin bukan dunia, mungkin hanyalah kehampaan yang terbentuk dari ingatan-ingatan yang terlupakan. Langitnya berwarna hitam kelam, tetapi bukan malam, melainkan lubang besar yang menelan segala sesuatu di dalamnya. Jeritan terdengar jauh di sana, bukan jeritan manusia, tetapi suara yang lebih kuno, lebih tua, lebih hampa, suara yang memecah kesunyian dengan keputusasaan purba.
“Apakah ini yang kamu cari?” tanya topeng itu, suaranya lebih dekat sekarang, lebih tajam dan mengiris seperti pisau dingin. “Penghancuran total?”
Aku menatapnya dengan tatapan yang mungkin sudah kosong sejak awal. “Aku tidak mencari apa pun,” jawabku, “karena aku tidak tahu lagi apa yang harus dicari. Aku hanya berjalan, seperti semut yang mengikuti jalur feromon. Tapi jalurku tak menuju tempat mana pun, hanya ke dalam jurang yang semakin dalam.”
“Apa itu artinya Tuhan bagi kamu?” ia bertanya lagi, suara yang terus membuntutiku seperti bayangan yang tak pernah bisa aku hindari.
“Tuhan?” Aku memalingkan wajahku dari cermin yang memudar. “Tuhan sudah mati. Atau mungkin Dia tak pernah ada sejak awal. Kita yang menciptakan Dia, agar kita tak perlu merasa begitu kecil di hadapan kehampaan.”
Cahaya di sekitar kami mulai meredup, tergantikan oleh kabut pekat yang membelai kulitku dengan dingin yang tak nyata. Di dalam kabut itu, aku melihat sesuatu yang bergerak. Sosok besar, lebih tinggi daripada gunung mana pun yang pernah kulihat, lebih gelap dari malam tanpa bulan. Tangan-tangannya panjang dan kurus, merentang seperti rantai yang melayang-layang, mencari sesuatu untuk diraih.
Itu bukan Tuhan. Itu sesuatu yang lebih tua, sesuatu yang tak bisa dipahami oleh pikiran manusia. Sebuah entitas yang melampaui segala definisi, sesuatu yang mengintai di balik tabir kenyataan, menunggu untuk dibangunkan.
“Jadi, sekarang apa yang akan kamu lakukan?” suara topeng itu berbisik lagi, lebih dekat dari sebelumnya, seperti hembusan napas di telingaku.
“Apakah aku punya pilihan?” Aku mengangkat tangan, memperhatikan bagaimana darah mulai merembes dari ujung jari-jariku, menetes dengan lambat, menyatu dengan kabut di sekitarku. “Pilihan hanyalah ilusi. Kita menciptakan harapan karena takut pada kekosongan. Tidak ada surga, tidak ada neraka. Hanya kehampaan.”
Saat kata-kata itu terucap, kabut di sekelilingku mulai menelan segalanya, dan aku bisa merasakan tangan besar itu mendekat, meremas, menarik jiwaku dalam genggaman dinginnya. Aku bisa menjadi apa saja, bahkan kehancuran itu sendiri. Tapi bukan Tuhan. Karena Tuhan adalah kekosongan yang lebih besar dari kehancuran. Tuhan adalah awal dan akhir yang tidak pernah benar-benar berbeda.
Dan aku tertawa—tawa yang menggema bersama suara topeng tanpa wajah. Di ujung segala sesuatu, hanya ada keheningan yang indah.
Ketika kabut itu akhirnya memudar, segalanya sudah hilang. Ruang kosong yang pernah kukenal sebagai dunia lenyap, terserap dalam kekosongan yang abadi. Tapi di tengah ketiadaan itu, masih ada sesuatu yang tetap berdetak—*aku.* Tidak sebagai dewa, tidak sebagai manusia, melainkan sebagai kehampaan itu sendiri.
“Jadi, siapa yang menang sekarang?” tanya suara tanpa wajah itu untuk terakhir kalinya sebelum segalanya lenyap.
Dan aku hanya bisa tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
evermore
ContoKami menyebutnya, "Bayangan." Bukan sekadar jejak, tapi gema dari apa yang tak pernah kita ciptakan. Dalam embusan angin, terjalin ambisi yang menguap bersama cinta yang tak pernah memanas. Di antara kilauan ilusi, kita berdiri, mengejar cahaya yang...