Muse and Artist - Soukoku

76 10 12
                                    

.
.
.

Angin menerpa kencang seolah akan mengetuk tulang ku. Rasanya dingin sekali berdiri ditepian pelabuhan saat malam hari. Ah, rasanya sepi sekali. Semua orang berpikir menjadi seniman adalah hal yang mudah dengan bermodalkan mencorat-coret kanvas maupun kertas. Ku pikir tiada dari mereka yang memahami penderitaan ku dikala aku kehilangan berbagai inspirasi.

Seperti para seniman pada umumnya, art block adalah hal yang sangat menyebalkan dalam hidup ku. Hidup tanpa melukis rasanya seperti gula tanpa wadah. Begitu berantakan dan tercerai-berai. Dan kini, perasaan semacam itulah yang ku alami. Kekosongan hati akibat art block tak henti-hentinya mampu membuat sebagian kewarasan ku nyaris menghilang. Seorang seniman tanpa seni tentu tak dapat disebut sebagai seniman, kan?. Setiap ku tatap pantulan rembulan diatas laut, rasanya aku ingin menenggelamkan diriku saat itu juga.

Banyak sudah tempat yang ku kunjungi untuk mendapatkan ide dan semua hasilnya sama. Aku selalu pulang dengan perasaan kosong dan hampa. Pada akhirnya aku merasa geram dan menggenggam alat-alat lukis ku (aku sedang memegang beberapa kuas saat itu). Di situlah aku menyesali perbuatan ku barusan. Mereka semua ku dapat tidak lah mudah karena aku perlu menabung untuk membeli barang-barang berkualitas. Fakta bahwa aku mendapatkan kerugian dan juga tidak dapat inspirasi sama sekali membuat ku semakin kesal dan mengacak-acak rambut ku dengan frustasi. "Ugh, sial! Menyebalkan sekali!," kata ku sambil berjongkok di balik pagar pembatas itu. Jika tidak ada pagar, mungkin aku sudah melompat.

Aku merasakan tangan dingin di bahu ku, tentu saat itu juga aku menoleh padanya. Ku lihat ada seorang pria jangkung dengan surai cokelat gelap dan wajahnya disinari oleh rembulan diatas. Sebagian wajahnya ditutupi oleh poni nya yang lebat. Ketika angin menyapu wajahnya hingga poninya terhempas, saat itu aku langsung terpanah oleh parasnya yang rupawan. Di mataku dia adalah maha karya itu sendiri.

"Hei, apa yang kau lakukan malam-malam begini?. Ini sangat dingin, orang tua mu pasti akan mencari mu." Ku dengar nada kekhawatiran di dalam suara nya yang syahdu. Aku langsung berdiri dan menghadapnya. "Oh tuhan, semakin ku tatap semakin aku berpikir bahwa dia sangat keren", batin ku meronta untuk dapat mengenalnya. "Tidak ada apa-apa. Dan berhentilah mengatakan hal semacam itu seolah aku masih kanak-kanaknya!". Dia terkekeh dengan seringai yang menyebalkan, apa-apaan orang aneh ini!. "Oh, ya?. Sepertinya kau adalah anak SMP ... Tidak apa, aku paham," katanya sambil terkekeh dan menepuk-nepuk pundak ku. Tidak, dia sama sekali tidak keren seperti yang ku bayangkan barusan!. Segala penyesalan ku lontarkan dalam hati ku karena telah berpikir dia adalah orang waras. Aku sungguh menyesal demi apapun. Tentu saja, tidak ada orang waras yang akan membaluti lengan dan leher mereka dengan perban seperti dia.

"huh- Aku sudah 16 tahun! Jaga bicara mu!," aku bicara dengan nada tinggi. Itu cukup normal bagiku. "Eh? 16? ... Seriusan?, wah kita ternyata seumuran!," ia terkekeh lagi dan kini ia berada tepat di samping ku. Orang ini seumuran dengan ku!?, tidak dapat dipercaya!. Apa yang dimakannya hingga ia bisa jadi begitu tinggi?. Baiklah, aku tau sejak awal bahwa dunia memang sangat tidak adil.

"Jadi kau juga 16 tahun?." Aku yakin ia sadar terdapat nada ketidakpercayaan di dalam suara ku.

Ia tersenyum padaku dengan wajah begitu percaya diri, hal yang mudah namun langsung membuat ku sangat iri. "Tentu!."

Keheningan terjadi selama beberapa saat setelah ia menjawab demikian. Kami menatap ke lautan dengan ombak ringan yang berderu. Indah sekali. Aku ingin melukiskan sesuatu tapi kuas yang ku bawa telah hancur di tanganku sendiri.

"Omong-omong, siapa nama mu?." Ok, suaranya memecahkan keheningan. Sebenarnya aku senang karena dia berbicara lebih dulu. Aku tidak lihai dalam berbasa-basi dengan seseorang.

"Nakahara Chuuya ... Dan kau? ... "

"Dazai." Ia menjawab singkat tidak seperti sebelumnya.

Aku mengernyitkan dahi ku dengan tidak puas pada jawabannya. "Dazai?, hanya itu?. Siapa nama belakang mu?."

Stray Dogs Diary (One-shot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang