Restart (Oneshoot)

467 38 35
                                    

"Tuan, Nyonya, saya permisi."

Begitu aku mendengar suara bocah itu mendekat, sumpit kuletakkan di atas meja. Tanpa sadar meja makan mendadak hening. Pandanganku melirik padanya, lantas pada ayah dan ibu. Namun selayaknya biasa, tiada yang menyahuti. Belum sampai dua detik aku pun memandang kembali padanya. Ia bergeming. Tak lama setelah kerjapan lambat di wajah tanpa ekspresinya tampak, ia menunduk sopan ke arah kami. Suara langkah kakinya cukup cepat diikuti pandangan menunduk.

'Sungguh kosong. Sebenarnya apa yang dia pikirkan?' batinku.

"Hyukkie, sudah selesai, Nak?" Ayah mengambil atensiku kembali.

"Ah? Belum," gelengku langsung, "belum, Yah."

"Kenapa meletakkan sumpit?" kata ibu, "Makanannya tidak sesuai seleramu?"

Aku meringis, "Ini enak sekali! Aku suka ini. Masakan Ibu justru mengalahkan Chef Baek Jongwon! Nyam~" kusuap lagi beberapa jumput kimchi yang masih segar.

"Asinkah?" Ibu bertanya lantas mencicip kimchi buatannya, "astaga sepertinya aku membuatnya terlalu asin untukmu."

"Tuduk kuk (tidak kok)," sahut mulut penuhku.

"Pelan-pelan saja, Sayang."

"Iya Bu, lagipula pajeon harus dimakan selagi hangat."

"Nanti kau bekerja?"

Sambil mengunyah pelan-pelan aku mengangguk, "Um."

Ibu sedikit mengernyit, "Istirahatlah dulu, kau baru pulang."

"Beberapa hari belakangan aku cuma berbaring, Bu."

"Jangan terlalu lelah, jangan lewatkan jadwal MCU hari ini, Sayang."

"Tentu~"

Aku melihat pintu yang sudah tertutup rapat. Dia pergi, tanpa satu pun dari kami mendoakannya hati-hati di jalan. Ya, ayah dan ibu selalu bertingkah seperti itu. Lembut padaku, tapi acuh kepadanya.

-o0o-

Aku lahir di keluarga Lee. Seorang anak tunggal.

"Oh?"

Sampai sosok lelaki tinggi itu muncul di keluarga kami.

Bibirku membulat terkejut karena malah berpapasan dengannya sekarang, "Kau belum berangkat?"

Aku yakin dia melirikku. Dia menggeleng, lalu tersenyum tipis tanpa melihatku. Setelahnya dia tampak memijit-mijit pangkal hidungnya sembari mengernyit kecil. Aku ikut mengernyit menelusuri wajahnya, namun malas berkomentar.

Sedikit menggedikkan bahu karena dia tidak bersuara, aku memilih duduk di sampingnya, di kursi halte yang sepi ini karena sejujurnya masih jam enam pagi. Keluarga kami terlalu cepat bersiap, kan? Padahal sudah beberapa menit berlalu sejak dia berangkat lebih dulu daripada kami dan seingatku pun aku masih sempat mencuci piring sendiri usai sarapan. Anak ini belum dapat tumpangan? Yang benar saja? Aku bertanya-tanya hanya dalam hati.

Kyuhyun, si lelaki di sampingku yang kini memasuki tahun pertama kuliah, adalah sosok yang akhirnya mengubah posisiku menjadi kakak. Dia datang dua tahun lalu, membawa surat wasiat dari mendiang sang ibu. Di sana tertulis bahwa ibunya memohon agar Kyuhyun bisa tinggal dengan kami setidaknya sampai dia punya pekerjaan tetap untuk menyewa tempat tinggal sendiri. Juga di surat itu berisi cek dengan nominal yang tidak masuk akal. Dan yang lebih tidak masuk akal lagi, Kyuhyun bilang, semua jumlah pada cek itu untuk ayah.

Ibuku tak bisa menolak uang. Sedangkan ayah tak bisa menolak wasiat permohonan wanita simpanannya.

Mau dipikir seperti apapun, aku tetap menganggapnya anak bodoh.

RESTART • TWOSHOOT • [CKH]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang