Masih terdiam meski merasakan keheranan yang luar biasa, ditambah rasa penasaran dan ketakutan hinggap bersamaan fakta hilangnya ponsel Reyhan membuatku rasa merinding. Mungkinkah ada yang menggunakan ponsel suamiku secara sengaja untuk menjebaknya, membuat propaganda baru sehingga kejadian buruk menimpa rumah tanggaku. Namun pertanyaan bermunculan, mengapa ini harus terjadi, apa yang mendasari semuanya tak kutemui jawabannya sama sekali.
“Aysha, tenanglah, semuanya bisa kita cari jawabannya. Wa makaruu, wamakarallah, wallahu khairul maakiriin. Jika memang ada orang yang berusaha membuat tipu daya pada kita, pasrahkan saja pada Allah, karena Allah sebaik-baik pembalas tipu daya mereka.”
Aku masih terdiam sambil menatap senyumannya yang ringan itu. Keteduhan dari pembawaan dirinya yang tenang, membuatku jadi lebih bisa mengendalikan diri walau masih ada rasa takut dalam hati. Aku terbiasa terus dalam kecemasan panjang yang menyesakkan hingga masalahnya benar-benar selesai secara tuntas. Sebelum semua selesai dengan benar dan jelas, aku hanya akan terus kepikiran.
“Hem, semoga ponsel kamu beneran ada di tempat kamu ngerasa menjatuhkannya ya Mas. Kita bahas ini setelah ponsel kamu ketemu,” kataku padanya.
“Aamiin, iya Sayang.” Reyhan kemudian kembali fokus pada kemudi.
Dalam otakku masih bercokol banyak pertanyaan yang belum menemukan jawaban. Sehingga tak bisa sama sekali tenang begitu saja walau sudah kuupayakan sebisanya. Tapi syukurlah, Reyhan bisa lebih bijaksana dibandingkan diriku yang masih butuh bimbingan ini. Kalau tidak ada pria ini, mungkin aku sudah melakukan banyak hal tanpa pertimbangan lebih yang hanya akan membuat masalah menjadi tambah runyam lagi.
“Di sana Aysha,” ucap Reyhan begitu mobil mulai memasuki area parkiran pesantren.“MasyaAllah, masih ada, Sayang.”
Aku pun memperhatikan di ujung dekat pintu gerbang. “Itu beneran handphone kamu, Mas!” Seruku.
“Ya, Alhamdulillah masih ada.”
“Bentar aku ambil ya.” Aku segera berlari keluar dari mobil mengambil kembali benda pipih yang tergeletak di atas batu-batu kecil. Ponsel itu dalam posisi tidak menyala. Aku memegangnya, syukurlah, tidak hilang batinku.
Aku kembali ke mobil masih memegangnya dengan erat. Kurasakan hangatnya ponsel Reyhan dan itu membuatku jadi berpikir.
“Hpnya masih hangat, kemungkinan ini tadi menyala, tapi sekarang malah mati,” ucapku.
Reyhan hanya menatap ponselnya yang ada di tanganku tanpa memintanya. “Hem, kita isi daya di rumah. Kita pulang yuk,” ajaknya tenang.
“Iya Mas.” Aku meletakkan ponsel Reyhan di dalam tasku, takut-takut hilang atau jatuh lagi. ‘Lain kali kamu harus hati-hati, ya, benda ini bisa disalahgunakan.”
Reyhan cepat mengangguk. “Iya, aku akan lebih hati-hati kedepannya Aysha.”
Sesampainya di asrama, aku segera mengambil pengisi baterai lalu membiarkan ponsel Reyhan yang mati terisi dayanya. Duduk sembari menunggu ponselnya terisi dan cemas tak sabar ingin tau. Begitu ponsel Reyhan bisa dinyalakan, aku tidak bisa menemukan apa-apa, bahkan semua data di dalamnya pun lenyap.
“Aysha, aku mandi dulu, ya.”
“Ah iya Mas,” jawabku.
“Kamu jangan terlalu memikirkan hal-hal yang memusingkan, kita bicara setelah ini ya.”
“Iya mas, aku gapapa, kok.”
“Hem.” Reyhan lalu pergi mandi.
“Gila semuanya hilang, apa data di ponsel ini udah di hapus. Tapi gak mungkin, apa Reyhan selama ini nggak pernah mengunci ponselnya!”
Semuanya benar-benar hilang, termasuk beberapa fotoku bersama Reyhan. Untungnya semua foto itu bersumber dariku sehingga tidak perlu kucemaskan. Tapi bukan foto kebersamaan yang membuatku kepikiran, melainkan data-data seperti riwayat chat dari ponsel suamiku, itu merupakan bukti bahwa sebelumnya ada yang menggunakan ponsel Reyhan untuk melakukan fitnah keji.Reyhan bahkan dibuat seolah sudah menceraikan ku, beberapa jam lalu aku nyaris kehilangan kesadaran karena diceraikan suamiku melalui pesan singkat tersebut.
“Gue harus apa!” decakku sambil terus berpikir. Jika pesan yang sebelumnya terhapus apakah bisa dikembalikan lagi, atau aku mencari cara untuk memulihkannya, tapi apa itu mungkin.
“Siapa yang udah ambil handphone milik Reyhan ini, siapapun dia, orang itu beneran niat bikin gue dan Reyhan dalam masalah bahkan bermaksud agar gue dan Reyhan pisah.”
“Sayang, ayo kamu ganti baju, setelah itu kita makan dulu. Aku bikinin kamu sesuatu.” Reyhan yang baru saja mandi muncul mengejutkan.
“Ya Allah Mas, aku kaget.”
“Sayang, aku tau banyak yang mengusik pikiranmu. Tapi kamu harus tetap tenang, mandi dulu ya.”
“Astaghfirullah,” ucapku lalu bangun mendekati Reyhan.
“Tenang ya,” kata Reyhan lalu menarikku ke pelukannya. “Semua masalah yang ada akan menemukan solusinya, ada Allah bersama kita.”
Seandainya aku bisa menunjukkan padanya bahwa beberapa waktu lalu ada pesan berisi kata talak. Mungkin Reyhan takkan bisa setenang ini. Kueratkan pelukan ku padanya, aku berusaha mendapatkan ketenangan lebih sembari merasakan pelukan darinya.
“Aku mandi dulu ya Mas.”
“Iya, setelah ini kita makan baru bicara.”
“Iya,” jawabku lalu pergi mandi. Sebelum itu kulihat Reyhan sama sekali tidak memedulikan ponselnya yang hilang tadi. Ia membiarkan ponselnya begitu saja tergeletak tanpa memeriksanya dan lebih memilih pergi ke dapur untuk memasak.
Aku yang tidak bisa tenang hingga satu persatu pikiran buruk bermunculan.“Gimana caranya gue bisa setenang dia, ya.”
**
Ada aroma harum yang melewati indera penciumanku. Ini seperti aroma masakan yang sangat lezat, bahkan masakan bude Ajeng saja tidak pernah seharum ini.
“Aysha, kamu udah selesai mandinya.”
“Kamu yang masak semua ini Mas?”
“Iya, Alhamdulillah. Ayo sini sayang, duduk di sini.”
“Serius?”
Reyhan terkekeh. “Kamu pasti ngira ini semua masakan aku beli di warung makan ya. Iya sih, agak meragukan awalnya, tapi semoga rasanya kamu suka ya.”
“Mas Rey, masakan segini beragamnya kamu masak sendiri?”
“Iya, tadi beberapa udah ada di kulkas, seperti ayam ini sudah aku marinasi dari semalam kayaknya. Aku lupa Sayang, syukurlah hari ini bisa aku masak.”
“Ya Allah, gimana aku nggak makin insecure coba!” decakku sambil cemberut.
Reyhan menggeleng lalu membiarkan aku duduk. “Aku seneng bisa buatin masakan ini untuk istriku.”
Jantungku berdegup kuat mengingat kembali kata-kata cerai yang dikirimkan orang sialan mengatasnamakan suamiku beberapa waktu lalu.
“Makasih ya Mas, wajar aja Radhia sampai pengen banget jadi istri kamu. Kalau gini, aku jadi makin takut kamu berpaling dari aku nanti,” kataku dengan nada lesu.
“Astaghfirullah, pikiran was-was itu datangnya dari setan, jangan dipedulikan ya. Sekarang kamu makan, setelah makan baru kita bicarakan semuanya.”
“Hem,” anggukku.
Padahal tadinya aku tidak lapar sama sekali, tapi ajaib memang, masakan Reyhan seperti menghipnotis dan aku menyantap semuanya sampai habis.
“Alhamdulillah, kamu suka sama masakan aku nggak?” tanya Reyhan.
“MasyaAllah masakan kamu enak semua Mas. Aku kalah dari kamu.” Lagi-lagi aku memanyunkan bibir.
Reyhan mengusap-usap puncak kepalaku lembut. “Kamu nih, ini bukan kompetisi masak, nggak ada menang kalah. Aku masak untuk kamu, hanya untuk kamu Aysha.”
Aku tersenyum. “Biasanya yang masak itu istri, tapi aku nggak becus.”
“Salah, tugas kamu adalah menjadi istriku. Memastikan kamu cukup makan-makanan yang halal dan sehat adalah tugasku sebagai suami.”
Aku tercengang lagi oleh setiap perkataannya.
“Gitu, ya.”
“Iya, jadi jangan merasa sedih karena kamu nggak bisa masak. Itu udah pas banget, karena tandanya aku yang masakin kamu.”
“Kok gitu, harusnya tetep aku yang masak.”
Reyhan tertawa kecil. “Boleh, kapan-kapan kamu masak yang kamu bisa, aku pasti makan masakan kamu.”
Kuanggukkan kepalaku. “Oke, nanti aku belajar dulu.”
Suasana tegangpun kini mulai mencair. Sembari tidur dipangkuannya aku masih berpikir tentang kejadian ponsel Reyhan tadi. “Udah boleh bahas kejadian hari ini belum?” tanyaku padanya.
“Boleh, asal kamu sudah lebih tenang.”
“Udah kok.”
“Oke, jadi apa kamu mau tanya sesuatu ke aku?”
“Iya!”
“Oke, kamu mau tanya apa?”
“Kamu ngapain ke rumah itu? Itu tadi tempat apa?”
“Rumah yang tadi, itu tempat tinggal orang tua kandung Radhia.”
“Orang tua kandung?”
“Ya, Radhia punya orang tua kandung dan orang tua asuh.”
“Oh, terus kamu ngapain di sana?”
“Radhia sakit Aysha, dan aku di sana hanya diminta oleh kiyai Zaman serta ibu kandungnya untuk membuat keadaan Radhia sedikit lebih tenang. Tapi upayaku salah besar, kehadiranku bukan membuatnya lebih tenang tapi justru sebaliknya.”
Aku lantas duduk dan menatap Reyhan lebih serius. “Maksudnya?”
“Radhia selama ini aku rasa terobsesi untuk bisa dinikahi ....”
“Dinikahi siapa?”
Aku menunggu kata-kata selanjutnya. Entah kenapa Reyhan malah menggantung ucapannya.
“Begini, aku hanya mencintai kamu Aysha.”
Aku berkaca-kaca, tiba-tiba ingin menangis mendengarnya.
“Kamu harus percaya satu hal itu ya.”
Aku pun mengangguk cepat.
“Jadi Radhia ingin aku menikahinya, tak peduli aku sudah punya istri. Disitulah aku benar-benar tidak ingin ada di sana. Apa pun tujuannya, entah itu membuat Radhia tenang, atau bahkan menyadarkannya ini semua tak mungkin terjadi. Dan aku merasa aku tak boleh ada di sana, aku hanya ingin segera pulang. Disitulah kamu datang bersama ummi Zulfa, entah bagaimana caranya, aku pun amat penasaran. Tapi aku hanya ingin segera sampai di rumah, menghabiskan waktu yang sama kuhabiskan sia-sia di sana tanpa kamu. Aku hanya ingin mengisi kembali diriku dengan senyum kamu, makan bersama kamu, berbicara denganmu begini, aku merasa bisa lebih tenang.”
Aku kehabisan kata-kata, aku terkejut luar biasa, tapi juga tidak menyangka sikap Reyhan yang sempat-sempatnya merasa lapar saat aku sedang cemas rupanya hanya demi mendapatkan ketenangan bersamaku.
“Aku minta maaf Aysha, aku takkan pergi meninggalkan kamu seperti tadi. Aku salah, aku tak seharusnya pergi sendiri dan ini bisa saja menjadi fitnah untuk rumah tangga kita.”“Maafkan aku, ya, aku salah.” Reyhan mengulangnya, ia terlihat amat menyesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dijodohkan Dengan Santri (Gus Reyhan)
Lãng mạnFOLLOW DULU SEBELUM BACA Rate 18+ Rumaysha terpaksa harus menerima perjodohan dengan seorang pemuda bernama Reyhan. Gus dari pondok pesantren Al-Faaz. Rumaysha awalnya menolak, tapi ayahnya mengancam akan memasukkan dirinya ke pesantren jika menola...