Saya duduk di ruang meeting yang hangat, dikelilingi oleh tim saya: Tari dan Kayla, serta kamera-kamera yang siap menantau gerak gerik kami.
Kami sedang fokus pada tantangan Solver Innovation Challenge. Pada tantangan kali ini, kami ditugaskan untuk menganalisis laporan keuangan sebuah kafe fiktif bernama Local Sour yang sedang bermasalah. Di meja oval besar, laptop kami menyala, menampilkan data dan ide yang bisa dipergunakan untuk diskusi.
“Teman-teman, bisa kalian lihat pengeluaran mereka lebih tinggi dari pendapatan. Sepertinya kita harus menemukan cara untuk mengurangi biaya dan meningkatkan keuntungan,” ucap saya membuka pembicaraan.
Tari mengangguk. “Gimana kalau kita menggunakan sistem pemesanan online? Itu bisa mengurangi biaya tenaga kerja dan meningkatkan efisiensi,” sarannya.
Kayla, yang terlihat skeptis, menyela, “Yakin itu cukup buat menarik pelanggan baru? Sistem doang mana bisa bikin mereka bertahan. Mereka butuh lebih.”
Meskipun sedikit kurang nyaman dengan Kayla, saya rasa pendapatnya benar. Local Sour akan sulit bertahan jika hanya mengubah sistem saja. "Kita juga perlu memikirkan cara untuk menarik pelanggan kembali,” jawab saya. “Apa pendapat kalian tentang kolaborasi dengan influencer lokal? Seperti yang dilakukan Kopi Kenangan, mereka berhasil meningkatkan visibilitas dengan promosi di media sosial.”
“Bagus, kayaknya bisa, deh,” Tari menambahkan, tampak bersemangat. “Kita bisa kasih saran buat bikin event khusus dan mengundang influencer supaya menjangkau audiens yang lebih luas.”
Kami semakin terfokus hingga sebuah pintu terbuka, dan seorang anggota tim produksi masuk dengan ekspresi cemas. “Maaf, kami perlu berbicara dengan Renjiro,” katanya.
Perasaan tidak nyaman mulai menyelimuti saya. “Ada apa?”
“Ayah Anda. Dia sedang mencari Anda di resepsionis dan terlihat marah,” jawabnya.
Debaran jantung saya meningkat. Tanpa menunggu, saya meminta izin dari Tari dan Kayla untuk pergi. Saat melangkah keluar, rasa khawatir membayangi pikiran saya.
***
Saya tiba di lobi hotel. Papa saya berdiri di depan resepsionis, wajahnya merah dan marah. “Dia seharusnya ada di sini!” teriaknya, suara menggema dan menarik perhatian pengunjung lain.
Saya menelan ludah. “Apa yang terjadi?”
Papa berbalik, menatap saya dengan tatapan tajam. “Mengapa kamu membiarkan dirimu terjebak dalam kompetisi ini? Kamu seharusnya fokus menjadi dokter, bukan bermain-main dengan mimpi yang tidak realistis!”
“Ini adalah kesempatan untuk saya, Papa! Saya ingin membuktikan diri di industri game,” saya berusaha menjelaskan.
“Buktikan? Dengan bermain game? Pikirkan masa depan kamu, Renji. Menjadi dokter lebih menjanjikan!” Ia melanjutkan, suaranya penuh emosi. “Kamu tahu betapa sulitnya Papa bekerja untuk memberikan pendidikan terbaik untukmu?”
“Saya mengerti, Papa. Tapi ada banyak orang yang sukses di industri game! Lihat saja perusahaan seperti Garena yang berkembang pesat! Mereka bukan hanya bermain-main, mereka menciptakan inovasi yang mengubah cara orang hidup,” saya menjawab, berusaha keras meyakinkan Papa.
Dia menggelengkan kepala, jelas tidak terima. “Kamu tidak melihat betapa banyaknya orang yang gagal dalam bidang ini. Kamu ingin menjadi salah satu dari mereka?”
Saya merasakan ketidakadilan dalam setiap kata-katanya. “Tapi jika saya berhasil, saya bisa menciptakan peluang bagi orang lain, bahkan merekrut orang untuk bekerja dengan saya. Ini bukan hanya tentang saya, Papa! Beri saya kesempatan, Papa. Saya berjanji akan melakukan yang terbaik! Jika saya tidak bisa menjadi juara di kompetisi ini, saya akan pulang dan akan menyerahkan impian saya. Saya akan menjadi dokter sesuai keinginan Papa jika saya gagal di sini,” saya bersikeras.
Papa terdiam sejenak, terlihat berpikir. Kami saling menatap. Saat dia membuka mulut untuk berbicara lagi, wajahnya mendadak memucat, dan dia memegang dadanya. “Aku… tidak…,” katanya, suara terputus-putus.
“Papa! Tidak!” seru saya, panik. Dia tersandung ke belakang, dan saya cepat-cepat menangkapnya sebelum dia jatuh. Suara-suara di sekitar mulai memudar, hanya suara detak jantung saya yang terdengar keras di telinga.
Sementara Papa terkulai di pelukan saya, sebuah pertanyaan mengusik pikiran saya: Apakah saya harus terus berjuang untuk impian saya, bahkan jika itu berarti harus menghadapi kenyataan pahit ini?
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
BEST IN CLASS (SEGERA TERBIT)
RomantizmRenjiro Saputra, pemuda blasteran Jepang dan Indonesia yang sangat menyukai game dan bercita-cita memiliki sekolah game sendiri, namun selalu menghadapi tekanan dari ayahnya yang menginginkan Renjiro untuk menjadi seorang dokter. Di sisi lain, ada C...