Kamala sejak lama menduduki tempat khusus di hati Julian. Hubungan keduanya memang terikat sebagai bibi dan keponakan. Lebih dari basis status tersebut, Kamala Bellamy merupakan wanita yang menyusui Julian hingga usianya dua tahun. Tentu Julian serupa anak kandung baginya, setara Tamaro yang lahir dari rahimnya sendiri. Kamala tiada pernah membedakan perlakuan terhadap keduanya, kendati Julian tidak selalu berada di sekitar dia. Julian tak ubahnya anak sulung yang diberikan perhatian penuh oleh Kamala. Dia turut mengawasi tumbuh kembang Julian, bahkan andil dalam setiap tangga perjalanan si pemuda.
"Bu, perut Ian gak muat ngabisin semuanya. Ian bungkus boleh, ya? Di rumah Ian makan lagi."
"Tentu saja boleh. Ibu masak segini banyak buat kalian berdua." Penuturan Kamala merujuk pada Julian/Tamaro. "Khususnya kamu. Kamu juga bawa ikannya buat papa kamu dan Afal, ya. Nanti panekuknya juga sekalian Ibu bungkus. Enggak sanggup makan lagi 'kan?"
"Ampun, Bu. Ian betulan kenyang ini. Tapi, makasih banget buat makanan Ibu yang selalu enak. Di Singapura Ian gak pernah temui makanan yang rasanya seperti masakan Ibu, kangen sekali selama di sana."
"Ibu tawarkan sambal kamunya gak mau. Padahal Ibu sudah cari tahu cara pengirimannya—ada teman Ibu yang pernah kirim-kirim makanan ke luar negeri dan katanya selamat dan aman sampai ke tujuan. Lain kali pemberian Ibu jangan ditolak lagi. Biar di mana pun kamu menetap, makannya tetap terjaga. Pokoknya ini terakhir kali Ibu lihat Ian bertambah kurus begini. Ibu gak suka, merasa gagal merawat Ian."
"Maafin Ian ya, Bu. Lain kali gak akan nolak pemberian Ibu lagi." Tisu diambil untuk menyeka pinggiran mulutnya. Pertanda bahwa dia telah benar-benar tuntas dengan makan siang. Di depannya Kamala tersenyum cantik, senyuman yang mengandung kasih dan kehangatan. Wanita itu tak mampu menahan kegembiraannya atas kepulangan Julian. "Ian izin ke mobil sebentar, ya. Ada yang mau diambil."
"Oleh-oleh 'kan, Yan?"
"Tama ..." Celetukan putranya tadi kontan disela olehnya. "Makan dulu. Kamu selalu saja menjahili Ian seperti itu. Dia abang kamu, loh."
Julian tertawa mafhum, tawa kecil yang mengagumkan. Sedang, Tamaro sebagai tersangka sekadar cengengesan di situ. Dia suka suasana ini di mana mereka bertiga dapat berkumpul untuk saling bertukar cerita. Adanya Julian mampu mengusir kesunyian di rumah mereka. Tamaro betah berharap kendati itu cukup mustahil terjadi, namun dia tetap menyuarakan keinginannya di dalam hati agar suatu saat Julian bersedia tinggal bersama mereka.
"Coba aja Ian mau tinggal bareng kita di sini ya, Bu. Pasti rumah ini gak sunyi lagi. Tama juga bakal tahan di rumah."
Wacana sekian terucap jangka Julian sudah memang menyingkir dari ruangan itu.
"Kamu tahu sendiri jawabannya. Gak mungkin Ian tinggal sama kita. Di rumahnya dia punya keluarga yang masih lengkap, Nak."
"Tapi, Bu ... Ian itu anak Ibu juga. Ibu berhak meminta kok."
"Ibu gak bisa hanya memikirkan diri sendiri. Julian kelihatan bahagia bersama mereka. Dan itu sudah membuat Ibu ikut merasakan senang." Tamaro mendengkus jemu, pasrah terhadap pernyataan yang sayangnya sungguh benar di telinganya.
"Ya udah, kita nikmati aja kenyataan ini sama-sama, Bu."
"Yang penting Ian gak melupakan kita."
"Kalo itu sih Tama yakin seratus persen ke Ian. Ian itu penyayang dan perhatian, Bu. Tanggung jawab juga. Cuma minusnya suka memendam masalah, jadi dia yang susah sendirian."
"Makanya, itu tugas kamu untuk ada di samping Ian saat Ian membutuhkan."
"Siap, Ibu Komandan!" Dan Tamaro tetaplah Tamaro. Dia kerap memiliki sebutan yang berbeda untuk Kamala, untungnya wanita cantik itu terhibur oleh pola tingkah putranya ini.
"Dipakai ya, Bu." Tahu-tahu Julian muncul seraya membawa dua paper bag di tangannya. Satu dia berikan kepada Kamala dan lainnya untuk Tanaro. "Lo pengen sepatu sport terbaru 'kan, Tam? Ini warnanya pas buat, Lo."
"Ya ampun, Nak. Bagus sekali ini gelangnya—loh, ada tas juga? Kamu beliin Ibu sebanyak ini apa gak boros, Yan?"
"Waduh, thanks banget, Yan. Ngerti aja Lo yang gue mau." Bibirnya semringah lebar, Tamaro berbinar-bibar saking puasnya mendapatkan hadiah yang telah lama dia idamkan.
Julian bergeming, hanya memperhatikan keduanya secara bergulir. Senyum ketulusan terbiasa menghiasi wajahnya, turut puas sebab perhatian kecilnya bisa membahagiakan orang-orang tersayang.
"Bu, Ian pulang dulu, ya. Ian ada janji jalan sama Afal sore ini. Barang-barang di koper belum Ian bereskan semuanya. Besok Ian ke sini lagi."
"Tunggu beberapa menit ya, Nak. Makanannya belum Ibu bungkus."
Julian mengangguk, menduduki tempatnya semula sambil memandang segelas air putih yang masih penuh di hadapan dia. Baru tersadar pula dia belum minum sehabis makan tadi, hingga gelas diraih untuk diteguk tandas isinya.
-----
"Tumben Lo langsung pulang? Udah kelar kangen-kangenannya?"
"Ibu nitip makanan buat, Lo."
"Bodo amat, ogah gue! Lo makan aja sendiri."
"Fal, harus banget ya suasananya gak enak begini? Gue lihat Lo tidur pulas banget, Fal. Gue juga udah ngomong ke ibu buat datang, gak mungkin gue ingkari."
"Lo tau gak, Yan. Sepulas-pulasnya gue, ada pergerakan kecil aja gue bisa kebangun,Yan. Dan gue bangun begitu Lo keluar dari kamar."
Sejemang Julian mengernyit sangsi, mendadak kepikiran akan perkataan dia di saat Janufal masih dalam kondisi tidur. Dia yakin suaranya sangat lirih seperti bisikan, dan sialnya dia tergiring emosional hingga tanpa sengaja melupakan bahwa adiknya ini kelewat sensitif terhadap suara dan pergerakan.
"Fal, terserah Lo mau minta apa dari gue. Kayaknya pengecut banget 'kan kalo gue cuma ngomong maaf ke Lo?"
"Bagus deh akhirnya Lo paham. Gue gak minta yang berat-berat sama Lo, Yan. Ini gue mohon-mohon juga oke asal Lo gak mengecewakan gue lagi. Gue mau ngabisin banyak waktu bareng Lo. Ajak gue ke mana pun Lo pergi, penting gak penting hal itu."
"Lo yakin?"
"Ada di muka gue kelihatan bercanda, Yan? Badut betulan apa ya gue, bisa-bisanya diragukan abang sendiri."
Julian hela napasnya berulang dalam tempo lumayan panjang. Dia perlu pendinginan ringan daripada menuruti adrenalin yang mungkin saja memicu ketegangan. Situasi demikian bukanlah ekspektasinya. Dia justru telah menyusun daftar perjalanan bersama sang adik yang semoga dapat terisi seluruhnya. Letak kesalahan tidak akan pernah ditujukan kepada salah seorang dari mereka. Keduanya terpaksa menyimpan kesah masing-masing pun dengan tujuan berbeda. Julian hanya ingin melindungi kebebasan Janufal. Dan Janufal tidak mungkin rela posisinya terancam oleh oknum-oknum yang dia curigai. Persepsinya untuk Tamaro serta Kamala berbanding terbalik dengan Julian. Faktanya, Janufal tidak begitu menyukai mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
UPHEAVALS
Ficción GeneralMasa muda sepantasnya dapat dilewati dengan berbagai peristiwa suka dan duka. Orang-orang terdahulu bilang itu adalah saat di mana semangat masih membara, kebebasan pun meraja. Tapi, keseimbangan tidak selalu didapatkan secara merata. Ada banyak tu...