2. Saint-Saëns

118 28 1
                                    

Kalau bukan karena Ivy, Rona tidak akan duduk di emperan bangunan sekretariat UKM sambil menghitung orang-orang yang lewat di pelataran, dilatari suara percakapan dan deru kendaraan yang terdengar sayup-sayup diantara kisikan angin pada dedaunan di pohon.

Ivy, teman sekelasnya, kini berada di salah satu ruangan yang digunakan sebagai sekretariat Badan Perwakilan Mahasiswa, sedang mengobrol dengan beberapa orang. Ivy memang anggota BPM universitas. Sore ini, mereka sedang ada rapat. Rona juga baru saja selesai rapat kepanitiaan pensi jurusan di gazebo tak jauh dari komplek sekretariat. Tadi, mereka berjanji untuk mengerjakan tugas kelompok setelah rapat. Awalnya Rona ingin menunggu di gazebo saja, tapi ada kelompok lain yang rupanya akan menggunakan tempat itu untuk berkegiatan. Jadilah Rona menyingkir, memilih menunggu Ivy di depan sekretariat BPM.

"Rona? Rona, kan?"

Suara panggilan itu membuat hitungan Rona buyar. Ketika dia mendongak, seorang pemuda berpostur sedang berdiri di belakangnya. Rona mengenalinya sebagai Ilham, mahasiswa tingkat dua Fikom. Semester lalu, mereka berada di kepanitiaan yang sama sebagai pendamping kelompok saat orientasi mahasiswa baru tingkat universitas.

Hebat juga pemuda itu bisa mengenali Rona di balik maskernya.

Rona melepas masker, lalu menyapa Ilham.

"Nunggu orang, Na?"

"Temanku lagi rapat BPM," jawab Rona, kemudian balik bertanya, "kamu anak BPM juga, Ham?"

Ilham menggeleng. Pemuda itu lalu duduk menjajari Rona.

"Catur. Tau deh masih pada sepi."

Rona melongok ke ruang UKM catur. Memang tak ada tanda-tanda kehidupan di sana.

"Udah dijarkomin?"

"Udaaah," keluh Ilham. Kemudian, seperti mendapat ide mendadak, ia menatap Rona sambil meringis.

"Kamu mau main catur nggak?"

"Mau!" sambut Rona antusias. Ia tidak terlalu jago bermain catur, tapi Rona bisa. Di rumah, ayahnya sering mengajaknya bermain catur. Rona hampir selalu kalah saat bermain melawan Ayah, tetapi itu seharusnya tidak dipertanyakan. Ayahnya memang langganan juara catur antar RT atau antar divisi kantor.

Sejurus kemudian, Rona dan Ilham duduk berhadapan di emperan, dengan papan kotak-kotak hitam putih tergelar di antara mereka. Bidak-bidak catur tersebar di papan tersebut. Keduanya larut dalam strategi masing-masing, nengira-ngira langkah yang akan diambil. Beberapa orang, yang Rona tebak adalah anggota UKM catur, mulai menaruh perhatian dan mengerubungi mereka.

Ilham menggerakkan kuda hitam ke C4. Rona menelengkan kepala, berpikir. Matanya cepat menandai posisi-posisi bidak lain, lalu mencoba menaksir kemungkinan langkah yang bakal diambil Ilham kalau Rona memajukan menterinya ke G6.

Rona memindahkan kuda putih ke E5. Kuda hitam Ilham memakan pion putih. Rona menggerakkan menterinya. Pion hitam memakan pion putih di F6. Rona melajukan sang ratu.

Skak mat.

Erangan dan seruan mengelilingi mereka. Ilham menepuk dahi, setengah kesal setengah terhibur. "Kamu gabung ke UKM catur aja, dah."

Rona tertawa kecil. "Kamu kurang teliti, sih. Terlalu fokus ke menteri aku."

Ilham menggaruk-garuk tengkuk.

"Bener juga kata kamu. Lagi, Na?"

Rona melirik jam tangannya. Hampir pukul lima sore. Seharusnya Ivy tak lama lagi. Lagi pula teman-teman Ilham para anggota UKM catur sudah banyak yang hadir. Rona menolak ajakan tersebut. Ilham mengangguk sebagai balasan. Yang berisik malah orang-orang yang menonton permainan mereka tadi.

Rengkuh RekahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang