Chapter 7: The Signs

40 2 0
                                    

Beberapa hari lagi kita akan memasuki minggu terakhir di Bulan April. Tak terasa hampir dua tahun sudah perasaan ini bagai terbawa ombak di samudera lepas, berharap segera menepi ke hamparan pasir putih pantai atau dibiarkan tenggelam di tanjung pulau. Terombang-ambing mencari sosok Jack di antara puing-puing dayung sampan. Sungguh ironis.

Berawal dari sebuah ketertarikan yang lambat laun berdeferensiasi menjadi sebuah hasrat ingin berteman, perasaan ini tidak berkembang secara normal seiring keinginan itu terwujud. Absurd. Perasaan inilah yang menghambat semuanya. Kalau saja perasaan ini tak kubiarkan sedalam ini, mungkin aku sudah bisa mengobrol seperti yang lainnya normal lakukan tanpa harus khawatir dengan perasaan masing-masing. Ya, Tuhan, bantu aku meluruskan semua keanehan ini.

Kamis ini aku bangun lebih pagi untuk memastikan jarum jam masih mentolerir beratnya kedua mata ini untuk terpejam. Setelah menyelesaikan kembang tidur, ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 5.25 pagi. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, aku berhasil berangkat sekolah tanpa sarapan tetapi membawa bekal.

Hawa dingin merasuki pori-pori kulit dan menembus tengkorak hingga tulang ibu jari kakiku. Terlihat Opa sudah berada di singgasananya bersama kucing-kucing bodyguard bertubuh tambun. Pagi itu aku sangat memperhatikan setiap langkah yang terkesan amat tergesa-gesa hingga terlihat aku berjalan menunduk sepanjang jalan.

Tanpa sadar aku berjalan tak jauh di belakang anak baru-yang-mulai-berani-bertingkah. Bahkan kalian bisa mencekiknya diam-diam dari belakang jika kau ingin membalas dendam saat itu juga. Tunggu. Siapa juga yang menyimpan dendam? Aku tidak berniat memberi credit di bagian akhir kepada Nyi Pelet sejujurnya.

Pikiranku saat itu tidak ada manis-manisnya sama sekali. Tak ada hal romantis yang bisa kubayangkan kecuali untuk sekedar memanggil namanya. Ergh.

Kalian harus tahu, membuka mulut saat itu sangatlah berisiko. Bisa-bisa aku menjadi tidak fokus dengan kaki yang berjalan tidak teratur ini kemudian tersandung dan berusaha menyelamatkan diri dengan meraih pundak atau pinggang orang di depanmu. Diakhiri dengan adegan kedua tokoh saling bertatapan dengan detail aktor yang menoleh begitu elegan meskipun sedang dalam keadaan terancam dan aktris dengan tatapan takut dilaknat dan tetap tersenyum di tengah kerumunan orang-orang yang siap merajam dirinya. Romantis, bukan?

Beruntung pagi itu tidak seburuk bayanganku. Dia yang berada tepat di depanku membuka pintu gerbang sekolah berengsel itu. Aku sempat merasa bersyukur ternyata dia masih memiliki niat yang baik.

Tetapi rasa syukur itu seketika seperti dikhianati begitu saja. Ia segera menutup kembali gerbang dengan mendorongnya ke belakang dengan gaya like a boss tanpa melihat jika ada orang setelahnya. Kurang ajar. Apa derap langkahku memiliki frekuensi yang rendah seperti suara infrasonik? Harus seheboh apa cara berjalanku agar bisa terdengar olehnya? Aku yakin dia diam-diam menahan tawanya. Menyebalkan.

Belum puas tingkahnya sampai di situ, dia berhenti di depan koridor dan seketika membanting setir ke pinggir. Tidak seperti dirinya, aku yang masih merasa sebal tanpa peduli berjalan di dalam koridor dengan langkah dewa.

Tiba-tiba dia memanggilku.

"Eh....!", tanpa sempat aku tersadar dari lamunan. apa dia benar-benar menyebutkan namaku?

Ini kejadian yang sangat langka sepanjang abad ini, pemirsa. Ternyata ia bermaksud memberitahu bahwa lantai koridor masih basah karena baru saja di-pel oleh pekarya.

Kemana cercahan harga diriku yang tadi jatuh berkeping-keping di ubin yang bersih itu ya....

Aku langsung berhenti dan mengintip sejenak lantai yang kujajaki sedari tadi. Apa sebelumnya aku pernah berlarian di lapangan berlumpur?

Saking paniknya, aku meloncat ke pinggir koridor dan kembali sejajar dengan anak yang tadi berniat baik mengingatkanku. Sempat menatap matanya, kubilang saja dengan acuh, "Biarin......". Walau dalam hati aku tetap berterima kasih padanya.

Aku tak berharap mendapatkan tanggapan darinya tetapi gelak tawanya yang khas itu benar-benar memacu jantungku untuk berhenti berdetak sepersekian sekon. Meskipun aku tahu dia tertawa menikmati pemandangan yang memalukan tadi.

Bukannya malah berdebar-debar, sepertinya hormon adrenalinku belum berjalan sesuai kodratnya. Tanpa perlu berlama-lama memikirkan hal-hal aneh, aku bergegas ke ruang kelas.

Sesampainya di tempat duduk, tas dan kotak bekal kusimpan di dalam laci meja. Aku segera mencari sapu karena hari ini kebagian tugas piket harian. Semua kursi telah kuangkat sendiri ke atas meja karena belum ada tanda-tanda kehidupan anggota lainnya.

Saat itu juga dalam bayanganku, lagu All by Myself dilantunkan melalui speaker kelas. Kemana perginya semua orang? Dengan tekad untuk tidak menggantungkan harapan kepada anggota lainnya, setengah bagian dari kelas yang terbilang luas inipun berhasil kubersihkan. Sekali lagi mari kita nyanyikan bersama-sama! All by Myself~ Sudah cukup, hentikan.

Di saat itu pula, seorang cowok dari kelas sebelah yang tadi sempat membelakangiku tanpa suara kini berada di hadapanku dengan tenang. Suasana nampak begitu sepi, yang benar saja, di sana hanya ada sosoknya dengan wajah tanpa dosa menghampiri aku yang sudah cukup pemanasan sejak awal memasuki gerbang sekolah.

"Ehm...Ada buku komputer enggak?"

"Eh? Oh , ada...."

"Boleh minjem sebentar?"

"Oke. Tunggu ya."

Rupanya ia ingin meminjam buku komputer. Di depan mejaku, buku berwarna biru itupun berpindahtangan kepadanya. Angin apa yang membawa dirinya kepadaku? Di saat seperti ini, hormon adrenalinku baru bekerja optimal diikuti kerja hormon serotonin dan dopamin yang memuncak. Aku hampir tak bisa menyembunyikan mukaku yang hampir overcooked.

Sambil berusaha menghilangkan rona-rona merah di kedua pipi, aku menyapu lantai dengan terpaksa-harus-terlihat-sedikit-normal. Ini mungkin kali pertama aku bisa berinteraksi langsung dengannya, cenderung terlihat sebagai shock therapy, sih.

Seselesainya ia membaca, iapun tak lupa berterima kasih. Di saat ia hendak mengembalikan buku, sesaat aku bisa melihat tangan kanannya masih memegang buku kecil itu selama beberapa detik.

Deg.

Deg.

Deg.

Aku hanya bisa menunduk, menaruh buku itu, dan melanjutkan tugas piket yang masih kukerjakan sendirian. Encore "All by Myself" bagian ke-3.

"Cepatlah! Aku harus makan dan melanjutkan PR sebelum bel masuk berbunyi."

"Akk! Lekas pergi ke kelasmu sanaAAA!"

Rasanya ingin kudorong ia keluar dari kelasku. Sudah jam berapa ini, guys..... Teganya kalian membiarkan anak sepertiku mati terpanggang perasaan sendiri di dalam kelas.

Setelah serangkaian peristiwa absurd yang menimpa seorang anak kecil tiada berdaya yang telat sarapan tetapi dibiarkan menyapu seluruh bagian kelas seperti aku ini, ada hal yang.... baruuuu kusaaaadariii~ hampir saja khilaf untuk melanjutkan liriknya.Tidak. Tidak. Itu bagian intermezzo belaka, efek paduan suara.

Hasil observasi yang kudapat hari ini ialah, cowok bermata sipit ini hanya mau mengobrol denganku ketika yang lainnya belum kelihatan batang hidungnya. Aku yakin dia malu, terlebih ia telah mengetahui fakta bahwa aku suka padanya. Aku jadi semakin penasaran kapan kau akan terus terang kepadaku. Setidaknya untuk satu saja kebaikan di kemudian hari.

Untold PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang