• Bicara •

489 21 8
                                    

Rama

Aku tidak hentinya memeluk tubuh sambil mengelus rambut Abel. Sukses sudah aku menjadikan diriku sebagai yang pertama merasakannya, membuatnya menjadi seorang wanita seutuhnya bukan gadis kecil lagi.

Memeluknya ternyata senyaman ini, otot otot tubuhku seperti termanjakan dan bisa rileks, dia adalah satu paket kebahagiaan yang memang aku mau.

Dia benar-benar masih terlelap, biarlah, toh aku juga masih bisa menikmatinya dengan pelukan. Lagi pula aku paham dia pasti lelah akibat sesi percintaan kami.

Oh Rama, tolong kamu ralat, bukan percintaan kalian, hanya kamu saja yang memaksa dengan penuh tamparan dan ancaman sana-sini.

Aku tidak perduli, yang penting tujuan utamaku bisa tercapai, membuat Abel seutuhnya menjadi milikku, milikku sendiri, tanpa ada yang boleh memiliki lagi.

Benar, dapat kupastikan dia kini adalah canduku. Tubuh rapat dan sempurnanya benar benar mampu membiusku dan segala duniaku akan mengakuinya indah.

Pergerakan kecil terasa dari tubuhnya, tapi aku langsung mengelus pundaknya dan menenangkannya untuk kembali ke alam mimpinya.

Aku masih mau dia berisitarahat, aku tidak mau dia kepayahan saat nanti terbangun karena bisa saja aku akan membuka sesi percintaan yang baru dan lebih membara.

Saat mengingat kejadian tadi, dia benar-benar meronta hebat dalam setengah sadarnya dengan tangan yang aku ikat kencang di kepala ranjang.

Sebenarnya aku tidak tega menyaksikannya tersiksa, tapi biarlah sekali ini saja untuk jalan yang lebih indah dan mulus kedepannya.

Mata itu terbuka di tengah malam yang masih setia diguyur hujan lebat.

Posisi kami saling berhadapan dengan aku yang memeluk tubuhnya, dan dia seakan baru tersadar dengan apa yang baru saja kami lewati, kini tangannya dengan cepat bergerak untuk menciptakan jarak denganku.

Kali ini aku mengalah untuk mengikuti caranya. Aku hanya tersenyum "Kamu mau ma......"

"Menjauh dariku!" Bentaknya sambil sibuk membenahi selimut yang sedang menutupi tubuhnya.

"Sayang, kamu harus tenang."

"Tenang katamu?" Tanyanya cepat seakan enggan bertingkah sopan ke padaku seperti sebelumnya.

Aku memilih diam saat ini, mataku masih mengikuti kegiatannya yang sekarang sibuk memaksakan diri untuk mengubah posisi menjadi duduk dibatas ranjang.

Dia seolah sibuk mencari baju yang bisa dia kenakan, aku menarik napas dalam kemudian ikut duduk juga "Semua baju kamu tadi sudah aku koyak, gak bisa kamu pakai lagi."

"Baju-baju kotor kamu selama kegiatan kemarin juga ada di mobil kan?"

Dia seakan tidak peduli dengan semua kalimatku, di sibuk dengan urusannya sendiri dan ternyata ini membuat aku cukup jengah, seperti tidak dia dengarkan.

Aku mengangkat tangannya, aku tahu ini akan membuatnya menjerit seketika jika aku pegang dengan erat, mengingat tangannya yang tadi aku ikat dengan kencang di kepala ranjang.

"Jangan sentuh aku, brengsek!" Dia mengibaskan tanganku, aku biarkan.

"Tian tadi mengirim baju baru untuk kita, bisa kamu pakai." Lagi-lagi dia tidak peduli.

Aku akhirnya meraih pinggangnya, dan membuat dia kembali menghadap ku, wajah kami bertemu, hidung kami berbenturan "Jangan pernah mengabaikan aku, sayang."

Dia langsung memberontak, berkali-kali memukuli dadaku tapi aku masih bisa merengkuhnya, hingga satu tamparan keras berhasil aku terima dari tangannya.

Suasana seketika berubah menjadi hening, aku yakin dia sendiri tidak menyangka bisa memberiku sebuah tamparan seperti ini.

"Apa tanganmu tidak sakit setelah menampar ku?" Tanyaku dengan nada datar.

Mungkin gelombang suara yang aku hasilkan mengirim sinyal awas padanya, karena detik ini perlahan kakinya mengambil langkah mundur ke belakang.

Aku tersenyum simpul, berusaha untuk tidak langsung menariknya kembali padaku, sepertinya saat ini giliranku yang harus lebih bersabar menuruti ego nya.

"Kembali lah ke ranjang, aku tahu kamu sangat lelah, Bel." Dia hanya melempari ku dengan tatapan tajam dan lebih memilih untuk berjalan menuju ke pintu.

Aku mulai kembali tidak sabaran, aku menarik tangannya kemudian membawa tubuh itu kembali terbaring di atas ranjang "Jangan ganggu aku!" Jeritnya.

"Kalau begitu turuti perkataanku,sayang." Aku membelai rambutnya agar tidak ada yang mengenai matanya.

"Aku gak Sudi mendengar laki-laki brengsek, licik, tolol macam kamu Rama!" Kalimatnya kemudian dia tutup dengan tindakan yang tidak sempat aku pikirkan, dia meludahiku.

Jujur detik ini rasanya aku terkejut, hampir menamparnya kembali tapi untungnya aku lebih memilih untuk membersihkannya dengan tanganku "It's okay sayang, aku gak marah kamu begini."

"Tindakan ku yang tadi memang kacau, di luar rencana awalku, maaf ya?"

"Harusnya aku bisa lebih sabar dan menunggu waktu yang lebih tepat."

"Kapan pun itu, kamu gak akanoernah tepat buat aku." Lagi-lagi dia berusaha untuk pergi dari ranjang ini, tapi kali ini aku sudah harus menunjukan kuasa yang aku miliki.

Aku langsung menahannya, kedua tangannya sengaja aku biarkan, aku hanya mengunci kakinya, dan kini aku sibuk kembali dengan mengecap seluruheher dan dengan perlahan namun pasti mulai turun ke area yang lebih bawah menuju payudaranya.

Aku yakin, jika saat ini aku menatap mata Abel, mata itu sudah pasti akan nyalang, bentuk reaksi atas apa yang sedang aku perbuat padanya.

Persetan dengan apa yang dia pikirkan, aku kembali menikmati tubuhnya untuk diriku sendiri, suara jeritan,mumpatan, bahkan sumpah serapah sudah masuk ke dalam telingaku.

Tanganku membekap mulutnya, dan yang lain meraih salah satu payudara indah ini kemudian kusapukan dengan lidahku yang sudah tidak sabar untuk kembali menikmati rasanya.

Tubuhnya melakukan penolakan yang cukup hebat, tapi satu cekikan tanganku pada lehernya cukup berhasil membuatnya terdiam, tubuhnya kembali seperti semula, lebih lemas dari sebelumnya dan ini jadi bisa membuatku untuk lebih mengendalikannya.

Aku membuka bekapan tanganku pada bibirnya, matanya sudah berair tapi aku tahu di dalam pikirannya banyak berputar pertanyaan untuk ku "Kenapa aku melakukan ini semua padanya?"

"Kamu gak punya salah apa pun ke aku Bel, semua ini terjadi memang karena aku yang sudah kalah sama semua pertahanan yang aku coba ciptakan selama ini."

"Jadi jangan pernah mencari salahmu ke aku, karena memang gak ada." Dari posisi ini aku yakin dia sedikit lega, mengingat Abel memang orang yang mudah sekali tidak enakan dengan orang lain, dan tidak ingin mencari perkara duluan.

"Aku cuma laki-laki yang gagal menjaga orang yang aku sayang dengan baik."

"Pikiranku lebih takut kehilangan mu, ketimbang berpikir untuk mencari cara lain yang lebih sopan dan benar agar kamu tetap selalu di dekatku."

Air mata Abel sudah jatuh, aku segera menghapusnya, tapi kini tangannya menahan "Mas......." Mataku langsung tertuju untuknya ketika panggilan itu terdengar lagi.

"Aku bahkan gak tahu kalau mas punya perasaan itu untukku."

"Kalau aku tahu dan mas bilang di awal, aku pasti mempertimbangkan hal yang bisa kita pertimbangkan bersama," ujarnya dengan suara yang tidak stabil.

"Walau aku pasti akan tetap terkejut, setidaknya kita bisa sama-sama meminimalisir hal ini terjadi." Aku memejamkan mataku, anak ini benar-benar baik.

Bisa-bisanya dia masih menyisipkan pikiran positifnya untukku "Aku yang gak bisa Bel, aku sudah hilang pikiran dan cara untuk membuat kamu tetap di dekatku."

"Maaf, ya?" Dia kembali menangis tersedu dan ruangan kami ini kembali menciptakan suasana asing.

RAMA's ROOM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang