4. Aku Melihatmu dari Jendela

17 1 0
                                    

Ushijima mengajukan cuti ke tempat kerjanya. Dia memutuskan untuk mengutamakan pemulihan istrinya terlebih dahulu. Dan sudah tentu, ini menimbulkan tanda tanya besar bagi Seira, karena jarang sekali suaminya itu bisa berada di rumah dalam waktu selama ini.

"Kamu nggak ke rumah sakit?" Adalah  pertanyaan sekaligus perkataan pertama Seira pada Ushijima sejak kepulangan mereka dari rumah sakit siang kemarin. Perempuan itu betulan tidak menunjukkan ekspresi apapun sedari kemarin, meskipun Ushijima memeluknya dengan begitu erat sambil memohon maaf berkali-kali atas kecerobohannya, dia tidak mengatakan apa-apa. Dia pun tidak membalas pelukan suaminya yang terlihat melas kala itu.

Ushijima menggeleng, "Nggak."

Seira mungkin merasa heran di dalam benaknya, tapi dia tidak bertanya lebih lanjut.

Sehari, dua hari, dan tiga hari telah berlalu. Dan Ushijima pun masih saja terus di rumah, sama sekali tidak ada tanda-tanda laki-laki itu hendak pergi ke tempat kerjanya. Dan akhirnya, di hari keempat, Seira mulai tidak bisa menahan dirinya untuk tidak bertanya kembali, "Hari ini juga nggak ke rumah sakit?" tanyanya saat laki-laki itu menaruh piring makan siang di atas ranjang.

"Nggak, sayang," katanya, tangannya terlihat hati-hati memegang nampan di satu tangannya.

"Wakatoshi, aku nggak mau punya suami miskin."

"Maksud kamu?" Laki-laki itu terlihat menaikkan sebelah alisnya.

Tatapan Seira penuh selidik, "Kamu dipecat ya?" tanyanya.

Ushijima pikir istrinya bercanda, tapi wajahnya yang super serius jelas menunjukkan kenyataan sebaliknya. Jadi, dia menahan tawanya di dalam hati, dan menjawab dengan jujur, "Nggak. Aku cuti."

"Cuti?" Kali ini raut mukanya berubah menjadi nampak tidak percaya, "Seorang kamu bisa ngajuin cuti juga?" Lalu tak berselang lama, dia menetralkan ekspresinya, merutuki perkataanya yang mungkin menyinggung suaminya, "Ah, maaf."

Seira memalingkan wajahnya ke arah makan siangnya. Dia mengaduk-aduk sayur sup yang disajikan oleh suaminya beberapa saat lalu. "Aku udah nggak apa-apa loh," katanya pelan tanpa menaruh pandangannya pada Ushijima. Tapi dia jelas tahu, suaminya kini tengah memandangnya dengan penuh perhatian. Dan Ushijima tidak memberikan respons apapun pada ucapan Seira yang terakhir itu.

Sebab, ucapan dan keadaan Seira jelas berbanding terbalik. Dia mengatakan bahwasanya dirinya tak apa-apa, tapi perempuan itu sama sekali tak pernah beranjak dari tempat tidurnya selain untuk membersihkan diri dan buang air. Semenjak keluar dari rumah sakit, dia hanya meringkuk di atas kasur.

Istrinya yang baru saja kehilangan jabang bayinya itu, yang dari kesaksian sahabat-sahabatnya kepada Ushijima itu terlihat sangat menyedihkan di kala itu, malah sama sekali tidak menangis di hadapannya. Sahabat-sahabatnya saja murka sekali padanya beberapa hari lalu. Tapi, dia tidak menunjukkan apa-apa. Tangis, amarah, sedih, amukan. Sama sekali tidak ada apa pun yang telah diluapkan padanya. Padahal, Ushijima sudah berpasrah diri, jika Seira akan menyalahkannya habis-habisan. Dia akan menerima semuanya. Dia akan membela diri. Karena semua itu jelas kesalahannya. Dia menyadari itu betul.

Dia pun tahu ada yang tidak beres, makanya laki-laki itu langsung mengajukan cuti ke rumah sakit tempatnya bekerja. Tidak peduli sanggahan apapun dari koleganya, bahwa banyak pasien yang menunggunya dan sebagainya, buat apalah semua itu. Kalau orang terdekatnya, istrinya, juga bahkan calon bayinya, mengalami masa kritis tanpa ada dirinya di samping mereka.

Oleh karena itu, Ushijima kali ini memilih untuk mengambil inisiatif untuk berada di samping Seira selama perempuan itu dalam masa pemulihannya. Merawat istrinya itu dengan kebisaannya. Walaupun istrinya tidak mau berbicara padanya, walaupun istrinya belum mau mencurahkan isi hatinya padanya.

"Wakatoshi," Seira menahan lengan Ushijima yang hendak membereskan bekas makannya, "Aku beneran nggak apa-apa," dia menekankan tiap katanya. Seolah-olah dia sungguh-sungguh dengan perkataannya.

Laki-laki itu menatap balik Seira dengan sungguh-sungguh, lalu menggelengkan kepalanya.

"Menurutku enggak," Dan ya, Ushijima jelas tidak mau dikelabui dengan omong kosong yang keluar dari bibir istrinya yang pucat itu, "Selama kamu masih tetep stay di kamar terus, please let me to take care of yourself," katanya dengan nada lembut. Tangannya terangkat, hendak mengusap rambut hitam istrinya, tapi diurungkannya. Dia pun bergegas ke dapur.

Lalu, di sore harinya, Seira seakan-akan tengah mencoba membuktikan perkataanya sendiri siang tadi pada Ushijima, bahwa dia benar-benar baik-baik saja. Perempuan itu akhirnya bangun dari ranjangnya, tidak untuk mandi atau buang air, dia keluar ke halaman depan. Sekarang ini, dia tengah memberikan pakan pada ikan-ikan koi yang ada di kolam depan sana.

Ushijima hanya memandangi tindakan istrinya itu dari balik kaca jendela dari dalam ruang tamu. Padahal dia tadi hampir kehilangan akal karena tidak mendapati Seira di sampingnya ketika ia bangun dari tidur siang. Laki-laki itu terlihat terengah di antara napasnya. Tapi dengan Seira yang menunjukkan senyuman merekahnya sekaligus lambaian tangan penuh semangat begitu mereka bertemu pandang, jantungnya semakin tak karuan.

Apakah itu benar-benar Seira?

Seira-nya?

Seira-nya yang ada dalam ingatannya sebelum dia kehilangan calon bayi mereka berdua?

Apakah dia benar baik-baik saja?

Apakah semuanya mungkin telah kembali seperti semula?

···

Berlanjut ke bab berikutnya ....

···

10.20 WIB,
Rabu,
13 November 2024.

Ruang: Berkumpul & BergumulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang