Bab 22 : Sakit

704 54 0
                                    

Malam ini terasa sangat dingin bagi Faisal, meskipun ia terbungkus dalam selimut tebal di rumahnya. Tubuhnya panas, tetapi kepalanya berdenyut dan telinganya mendengung, membuatnya frustasi. Dalam kesunyian rumah yang sepi, ia merasa terjebak dan tak berdaya.

Faisal meraih ponselnya, mencari kontak yang sering dihubunginya. Juli, satu-satunya nama yang selalu muncul di beranda WhatsApp-nya. Tanpa ragu, ia menekan ikon telepon dan memanggil Juli.

Deringan telepon menggema hingga akhirnya layarnya menampilkan angka, menandakan bahwa panggilan telah terangkat.

"Halo?" suara Juli terdengar lembut dari seberang.

Faisal terdiam, hanya bisa mengeluarkan suara batuk yang tiba-tiba menyerang.

"Lo kenapa?" tanya Juli, nada khawatir menyelimuti suaranya.

"K-kak, aku sakit," Faisal merenggek, berusaha menahan rasa sakit dan air mata yang mengancam.

"Sakit apa?" Juli bertanya, penuh perhatian.

"Ga tau. Demam, tapi kedinginan. Batuk, flu juga," jawab Faisal, suaranya bindeng akibat flu yang mengganggu.

"Astaga, yaudah kalau gitu. Gua kesana sekarang, tunggu," Juli segera menutup telepon, berjanji akan datang.

Faisal hanya bisa berharap Juli benar-benar akan menghampirinya. Dalam kesepian, ia merasa tak memiliki siapa pun yang bisa diandalkan selain Juli.

***

Juli menepikan motornya di halaman rumah Faisal. Dengan cepat, ia membuka helm dan mengangkat beberapa kresek berisi obat dan makanan untuk dibawa kepada sahabatnya.

Kekhawatiran atas kondisi Faisal membuatnya bergegas. Entah mengapa, hatinya dipenuhi rasa ingin tahu dan perhatian yang mendalam terhadap laki-laki itu.

Tok… tok… tok…

Ia mengetuk pintu dengan penuh harap, berharap bisa memberikan sedikit kehangatan dan perhatian di tengah kesakitan Faisal.

Juli mengetuk pintu tiga kali, lalu membuka pintu itu saat tak ada jawaban. Dengan langkah cepat, ia menaiki tangga menuju kamar Faisal yang sudah ia tebak berada di atas.

Langkahnya terhenti di depan sebuah pintu kamar berwarna pink. Sejenak, ia ragu untuk masuk, takut salah kamar. Namun, saat pintu itu terbuka sedikit dan sosok Faisal terlihat terbaring lemah di kasur, Juli langsung melangkah masuk.

"Isal..." panggilnya lembut, penuh kekhawatiran.

Mendengar namanya dipanggil, Faisal menoleh dengan ekspresi senang saat melihat Juli benar-benar datang ke rumahnya.

"Kak Juli!" serunya, berusaha tegak, namun Juli segera menahannya dan duduk di tepi kasurnya. "Udah, kamu tidur aja," katanya lembut.

Faisal mengangguk, menatap Juli dengan wajah pucat, hidung yang terisak, mata sipit, dan tangan yang panas.

Merasa suhu tubuh Faisal tinggi, Juli meletakkan tangan di keningnya. Ia meringis merasakan betapa panasnya.

"Kata gua juga, Sal. Ke rumah sakit. Biar nggak makin panas kayak gini," omel Juli sambil membuka plastik kool fever berwarna biru yang sudah dibawanya. Dengan hati-hati, ia menempelkan plester kompres itu di kening Faisal.

"Aku nggak suka ke rumah sakit," Faisal tiba-tiba berkata setelah Juli memasangkan plester. Suaranya pelan, menggambarkan ketidaknyamanannya.

"Siapa yang suka sama rumah sakit?" Alis Juli terangkat penuh pertanyaan saat menatap Faisal. Faisal menggelengkan kepala, menyadari ada benarnya kata-kata Juli. Namun, di balik ketidaksukaannya, ia menyimpan rasa takut—takut kehilangan dirinya setelah ibunya pergi di tempat itu.

Let's falling in love with me (gxb)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang