Hari ini Cantika terbangun dengan perasaan campur aduk. Semalam setelah meninggalkan rumah sakit, ia tak bisa langsung tidur. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian kemarin, dengan wajah Marko yang begitu cemas dan Nana yang terbaring lemah. Tapi pagi ini ada sesuatu yang lain yang mengusik pikirannya: lomba roller skate yang akan diikuti sekolahnya minggu depan.
Cantika itu suka roller skate sejak kecil. Itu adalah salah satu cara dia menyalurkan perasaannya, melupakan sejenak apa pun yang terjadi di sekitarnya. Selama ini, roller skate juga menjadi satu-satunya hal yang membuatnya merasa bebas. Ketika ada di atas roda-roda itu, angin yang menerpa wajahnya, dan kecepatan yang dirasakannya, seolah semua masalah bisa hilang untuk sementara.
Minggu depan, SMA mereka akan mengirimkan beberapa peserta untuk mengikuti lomba roller skate tingkat provinsi. Cantika awalnya ragu untuk ikut. Dengan semua yang terjadi di antara dirinya, Marko, dan Nana, dia merasa kehilangan semangat. Tapi setelah berpikir semalaman, dia memutuskan untuk melakukannya. Ini kesempatan untuk fokus pada sesuatu yang dia cintai dan mungkin sedikit menjauhkan pikirannya dari perasaan yang membuatnya lelah.
Di sekolah, pengumuman peserta lomba sudah ditempel di papan pengumuman di dekat kantin. Cantika berjalan ke sana, dan tak lama kemudian, ia melihat namanya di antara peserta lain. Hatinya berdebar, campuran antara gugup dan antusias. Beberapa teman-temannya yang melihat namanya langsung menyemangatinya.
"Can, kita dukung kamu, ya! Pasti menang deh kalau kamu yang ikut," kata Lisa, teman sekelasnya yang terkenal cerewet tapi selalu mendukung.
Cantika tersenyum kecil. "Makasih, Lis. Aku bakal latihan keras buat lomba ini."
Marko yang kebetulan lewat juga melihat nama Cantika di daftar itu. Dia menghampirinya. "Wow, Can! Kamu ikut lomba roller skate minggu depan? Kenapa nggak bilang ke aku?"
Cantika mengangkat bahu. "Nggak ada alasan khusus, kok. Aku cuma mau fokus latihan aja."
Marko tersenyum lebar. "Bagus dong. Aku pasti datang nonton. Semangat, baby!"
Sapaan itu lagi. Cantika berusaha menekan perasaan yang kembali mengusik hatinya. "Iya, makasih."
Sementara itu, Nana yang baru kembali ke sekolah setelah pulih juga mendengar kabar bahwa Cantika akan mengikuti lomba. Dia menghampiri Cantika di lorong kelas dengan senyuman hangat. "Can, kamu ikut lomba roller skate? Keren banget! Aku juga mau datang nonton, boleh kan?"
Cantika terkejut. "Oh, Nana... pasti boleh dong. Aku nggak nyangka kamu bakal semangat buat nonton."
"Ya iyalah! Aku kan harus dukung temen Marko juga," balas Nana dengan tawa kecil yang membuat Cantika sejenak merasa bersalah atas rasa cemburunya selama ini. Nana memang gak pernah berbuat salah, dan itu yang membuatnya semakin sulit bagi Cantika untuk membenci atau mengabaikannya.
***
Hari-hari berikutnya, Cantika mulai intensif berlatih. Setiap pulang sekolah, ia langsung menuju taman yang memiliki arena skate favoritnya. Di sana, dia mencoba berbagai trik dan gerakan, menantang dirinya sendiri untuk jadi lebih cepat dan lebih lincah. Tak jarang beberapa anak kecil di sekitar taman berhenti bermain hanya untuk menonton Cantika meluncur dengan kecepatan yang menakjubkan. Angin sore menyapu wajahnya, membawa serta sedikit rasa lega di tengah kepenatan hatinya.
Kala itu Marko datang ke taman dengan membawa minuman dingin. "Hoi, pejuang roller skate, butuh penyegar gak?" katanya sambil tersenyum lebar.
Cantika berhenti, napasnya terengah-engah. "Marko? Ngapain ke sini?"
"Ngeliat kamu latihan, lah. Aku kan mau pastiin sahabat aku menang nanti," jawab Marko. "Lagian, kamu keliatan keren banget tadi pas ngelakuin trik itu. Kamu makin keren aja. Udah jago juga jaga keseimbangan."
Cantika mengerling ke arahnya, mencoba menahan senyum. "Makasih, Mar. Tapi aku masih perlu banyak latihan tau."
"Aku yakin kamu bisa, Can. Kamu salah satu orang paling gigih yang aku kenal," kata Marko, membuat hati Cantika sejenak hangat.
Cantika menatap Marko sejenak, lalu menghela napas pelan. "Kamu selalu bilang giru, padahal aku sendiri kadang ngerasa nggak cukup."
Marko mengernyit, pandangannya serius. "Maksud kamu?"
"Ya, aku... aku cuma pengen ngerasa cukup buat diri aku sendiri. Bukan karena ada orang lain yang bilang aku bisa atau nggak," jawab Cantika sambil mengusap keringat di dahinya. Ada rasa jujur yang terlepas dari bibirnya, meskipun dia nggak benar-benar berencana mengungkapkan hal itu.
Marko tersenyum tipis, senyum yang nggak selalu dia tunjukkan. "Tapi bukan nya justru bagus? Kamu selalu nantang diri kamu sendiri. Itu yang bikin kamu beda."
Cantika tertawa kecil, membuang pandangannya ke arah arena skate. Angin sore meniup rambutnya, membuat beberapa helai jatuh ke wajahnya. "Mungkin. Tapi aku nggak pengen cuma jadi 'beda', Mar. Aku pengen... ya, pengen jadi versi terbaik dari diriku, gitu."
Marko duduk di bangku taman, menatap Cantika yang masih berdiri sambil memandang ke arah arena. "Kamu tau nggak, Can? Kadang aku mikir, kalau kita semua punya versi terbaik, kita nggak akan pernah berhenti nyari. Tapi yang bikin kamu spesial, kamu udah jalan di jalur itu. Dan itu udah cukup buat aku."
Cantika menoleh, terkejut mendengar pernyataan Marko. Dia nggak tahu harus merespon seperti apa, jadi hanya mengangguk pelan. Mereka berdua duduk dalam diam sejenak, menikmati suara anak-anak yang bermain dan gesekan roda skate yang familiar.
"Kamu serius bakal datang waktu lomba?" tanya Cantika akhirnya, mencoba mengubah suasana.
"Seriuslah," jawab Marko cepat, nadanya seolah tak sabar. "Aku nggak mau ketinggalan lihat kamu bersinar, Fullsun. My Fullsun"
Cantika tersenyum kecil, entah udah berapa lama dia nggak pernah dengar kata itu keluar dari mulut Marko. Fullsun—nama itu selalu membawa Cantika kembali ke masa kecilnya, saat Marko pertama kali memanggilnya dengan sebutan itu. Nama itu diberikan Marko ketika mereka masih kecil, saat mereka bermain di bawah matahari sore yang hangat dan bersinar lembut. Sejak saat itu, panggilan itu melekat, menjadi pengingat hangat tentang persahabatan mereka yang dimulai sejak lama.
Di suatu sore yang hangat, Marko dan Cantika, yang waktu itu masih kecil, sedang duduk di bawah pohon besar di halaman belakang rumah Cantika. Angin semilir mengibaskan rambut mereka ketika keduanya baru saja selesai bermain petak umpet dan kelelahan, namun wajah mereka masih dipenuhi senyum riang.
Marko menatap Cantika yang tengah memandangi langit yang mulai berubah warna menjadi orange keemasan. Matahari sore itu bersinar dengan lembut, memancarkan cahaya hangat yang memeluk mereka berdua. Tanpa alasan yang jelas, Marko tersenyum lebar dan menunjuk ke arah matahari.
"Kamu tau nggak, Can?" kata Marko sambil memiringkan kepalanya, matanya berbinar seperti menemukan sesuatu yang baru.
"Apa?" Cantika kecil menoleh dengan penasaran, matanya yang bulat memantulkan sinar matahari.
"Kamu kayak matahari sore itu," lanjut Marko sambil tertawa kecil. Cantika mengerutkan kening, gak ngerti maksud sahabat kecilnya itu.
"Maksud kamu apa?" tanyanya, meski bibirnya mulai tersenyum, terpengaruh oleh tawa Marko. Sedangkan Marko balik menatap Chania dan mengusap pipi gembil gadis itu yang selalu terlihat lucu dimatanya.
"Ya... kamu tuh bikin semuanya jadi hangat, tapi nggak bikin capek. Matahari sore itu Fullsun, nggak terlalu terang, tapi selalu bikin senang," jelas Marko polos, nada suaranya seolah-olah dia baru saja mengungkapkan rahasia besar.
Cantika terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Marko yang baginya terdengar lucu. Tapi entah kenapa, sebutan itu menempel di hatinya. Sejak saat itu, Fullsun menjadi panggilan yang Marko gunakan setiap kali mereka bermain atau mengobrol. Cantika selalu pura-pura kesal dan menggoda Marko karena panggilan itu, tapi dalam hatinya, dia selalu menunggu saat di mana Marko memanggilnya begitu, seakan memastikan bahwa ia tetap menjadi bagian dari cerahnya hari-hari mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Roller Skate(s) | MarkHyuck GS
Teen FictionMenurut Cantika, mencintai seorang Marka ibarat bermain sepatu roda. Ya. Pertama, melatih kita untuk sabar, tentu saja. Sabar untuk melangkah, sabar untuk menikmati proses. Dan yang kedua, mengajari Cantika untuk memikirkan strategi. Karena dalam be...