18. Psikopat Gila
*****
_____________________________"Pembunuh harus dibayar dengan dibunuh."
"Cepat atau lambat, terpaksa atau tidak, kau akan tetap mati di tanganku."
"Tunggu, sebelum itu aku harus melihatmu tersiksa dengan kehilangan orang yang kau sayangi terlebih dahulu. Membunuh paling ampuh itu menyiksa korban secara perlahan, kan?"
-Secret.
_____________________________
•HAPPY READING•
*****
"INI SEMUA GARA-GARA KAU ANAK SIALAN!"
"Gara-gara gue ..." gumam Arsen meremat kuat kepalan tangannya hingga buku-buku jarinya mampu merobek kulit telapak tangannya. Rahangnya mengeras menahan sakit yang belum seberapa dibanding perkataan Ayahnya barusan.
"Gue ... Anak pembawa sial ..."
"Sen, sadar, Ayah nggak akan anggap lo anak. Sampai kapanpun."
Menghadap cermin, celotehan ngawur terus saja terucap dari mulutnya yang ternoda.
Ucapan Ayahnya itu ... bagai kaset yang terus berputar di kepala Arsen. Cowok itu mengerang kuat, meremas kepalanya agar berhenti membayangkan suara berisik Ayahnya.
Napasnya tersengal, cowok itu membungkuk sembari terus meremat kepalanya. "Ayah ... Mau Arsen pergi?"
"Ma ... Nggak papa, ya, kalo Arsen pergi?"
"Mama, sakit ..."
"Bang!"
Apa yang akan kalian pikirkan? Mengira Arsen hanya diam di kamar mandi tanpa seorangpun berusaha menenangkannya? Tidak, bayangkan satu keluarga ribut heboh sedari tadi berusaha mendobrak pintu kamar mandi. "Abang! Abang, buka pintunya!"
Arsen tersenyum getir, Tangannya mengepal kuat, memukul cermin di depannya berkali-kali hingga hancur berkeping-keping. Benar, cermin itu pecah menyisakan goresan luka tepat di punggung tangan Arsen.
Cowok itu mundur dua langkah, napasnya berderu cepat, sangat cepat. Kini dia sadar, bahwa sejak awal yang diinginkan Ayahnya adalah kematiannya. Ya, Arsen hanya ingin keluarganya bahagia. Itu saja, walau tanpa dia, tidak masalah.
"Bang!"
Brak!!
Napas Senna berderu kencang, tersengal-sengal karena sudah menguarkan seluruh tenaganya tak tersisa. Begitupun dengan Vano dan Audya. Wanita itu menangis kencang ingin memeluk sang buah hati.
"Mama ..."
"Sayang ... Sayang maafin Mama, ya, nak?"
Cowok itu menggeleng, membalas pelukan sang Ibu. "Nggak, Mama nggak salah. Arsen yang salah, Ma ..."
"Bang ..." lirih Senna, gadis itu melemas di iringi benih mata yang mulai berair.
"Abang yang salah. Benar ucapan Ayah, abang yang salah."
Tangis Audya semakin menjadi, Senna tak kuasa menahan gejolak emosi dalam dadanya, dia juga ikut menyambar tubuh Arsen dan memeluknya erat. Dia ... Sangat menyayangi Arsen, kakak laki-lakinya yang paling ia sayangi.
Vano diam tak bergeming, rahangnya mengeras kala menemukan secarik kertas di nakas tepat sebelah kamar mandi milik Abangnya itu. Hatinya bak disayat dan di iris berkali-kali, perih, sakit, semua terasa bercampur. Gundah gulana menyelimuti raut wajahnya. Cowok itu menghela nafas kasar, menginjakkan kaki jenjangnya keluar kamar dengan napas memburu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARSEN - On Going
Teen FictionKehadirannya yang tak dianggap juga tak diharapkan, di cap sebagai anak haram bukanlah hal yang mudah dilewati bagi Arsen Brahmantara Mahendra. Remaja tak bersalah serta banyak kekurangan ini harus menerima hidup di keluarga dan lingkungan yang bisa...