Bab 14: Tumbal yang Dicari

12 2 0
                                    


Bayangan hitam itu berdiri diam di depan pintu, dan suara derit kayu semakin keras. Siska, yang duduk paling dekat dengan pintu, menahan napas. Matanya membelalak lebar, menatap pintu seakan mengharapkan benda itu tidak terbuka. Ia merasakan jantungnya berdegup begitu keras hingga telinganya berdenging.

"Ada... ada apa di luar?" bisik Widya, wajahnya semakin pucat. Tangannya gemetar, dan Perdi dengan cepat meraih tangan pacarnya, berusaha menenangkan meskipun ia sendiri tidak kalah takut.

Fauzan berdiri perlahan, mendekati pintu. "Siapa di luar?" serunya dengan suara sedikit bergetar. Tidak ada jawaban, hanya suara langkah kaki yang terdengar menyeret di tanah, mendekat lagi.

Dirga, yang sejak tadi hanya diam, berdiri. "Gue yang buka. Mungkin cuma penduduk setempat."

Sebelum ada yang bisa mencegah, Dirga menarik pintu itu perlahan. Derit kayu tua terdengar begitu menyiksa telinga, dan mereka semua menahan napas. Tapi saat pintu itu terbuka sepenuhnya, di depan mereka hanya ada kabut tebal yang menyelimuti pemandangan hutan.

"Kosong?" tanya Dirga, setengah tidak percaya. "Gue denger ada suara kaki, jelas banget."

Fauzan menggelengkan kepala. "Mungkin kita semua kecapekan dan halusinasi. Udah, kita lanjut jalan aja daripada makin parno di sini."

Namun, sebelum mereka bisa melangkah keluar, suara keras tiba-tiba terdengar dari dalam hutan. Kali ini jelas bukan suara biasa—itu suara jeritan panjang, melengking, dan penuh rasa sakit. Jeritan itu seolah-olah berasal dari seseorang yang tersesat dan terluka parah, memohon pertolongan.

Semua mata langsung tertuju ke arah sumber suara, wajah mereka dipenuhi rasa takut dan kebingungan. Jeritan itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas. Widya langsung menangis, tubuhnya gemetar hebat.

"Jangan-jangan itu orang beneran? Kita harus nolongin," ucap Dian dengan suara tegas, meskipun ia sendiri diliputi rasa takut.

Siska berdiri, menolak ide itu. "Gue nggak yakin. Suara itu nggak wajar. Nggak ada orang yang bisa teriak kayak gitu. Kita harus balik aja!"

"Ini mungkin pendaki lain yang kesasar atau terluka. Gue nggak bisa biarin orang mati di sini tanpa kita bantu," balas Fauzan keras kepala. "Kalau kalian nggak mau, gue pergi sendiri."

Dirga menatap Fauzan. "Gue ikut. Lebih baik kita nggak biarin dia sendirian."

Akhirnya, mereka memutuskan untuk mengikuti jeritan itu, meski langkah mereka terasa semakin berat. Suara jeritan yang tadinya jelas mulai terdengar terputus-putus, seperti suara itu sengaja menjauh dari mereka. Setiap kali mereka mendekati sumber suara, jeritan itu bergerak semakin dalam ke dalam hutan, menarik mereka masuk ke kegelapan.

Setelah berjalan beberapa lama, mereka tiba di sebuah celah besar di antara dua tebing. Di tengah celah itu, mereka melihat sosok seorang wanita yang berdiri dengan kepala tertunduk, tubuhnya dibalut pakaian compang-camping dan rambutnya panjang acak-acakan menutupi wajah. Wanita itu berdiri diam, tidak bergerak, namun napasnya terdengar seperti sedang tersengal-sengal.

"Siapa dia?" bisik Syifa sambil memegangi tangan Rama lebih erat.

Fauzan mendekati wanita itu, berusaha mendekat. "Bu, apa ibu baik-baik saja?"

Namun, begitu ia mendekat, wanita itu mengangkat wajahnya perlahan. Mata mereka yang tadinya penuh dengan rasa khawatir seketika membelalak. Wajah wanita itu tidak memiliki mata. Di mana seharusnya ada mata, hanya ada rongga hitam yang menganga. Bibirnya bergerak tanpa suara, namun tubuhnya mulai gemetar hebat.

Dian langsung menarik Fauzan ke belakang. "Jangan dekat-dekat! Dia bukan manusia!"

Jeritan panjang keluar dari mulut wanita itu, jauh lebih keras dan menusuk daripada yang mereka dengar sebelumnya. Mereka semua terdiam, terpaku oleh ketakutan. Wanita itu mulai melangkah maju, tangan kurusnya terulur, seolah-olah ingin meraih salah satu dari mereka.

"Lar—lari! Cepat!" teriak Deni, seketika memecahkan kebekuan mereka.

Semua langsung berbalik dan berlari secepat mungkin, kembali ke arah jalur yang mereka lewati. Jantung mereka berdegup kencang, tubuh mereka dikuasai oleh adrenalin. Namun, di tengah pelarian itu, satu per satu mulai tersadar bahwa jalur yang mereka lalui terasa semakin asing.

"Apa... kita salah jalan?" teriak Widya dengan napas terengah-engah.

Fauzan yang memimpin jalan mendadak berhenti, matanya menyapu pemandangan di sekitarnya. "Sial, gue nggak kenal ini tempat... Padahal tadi gue yakin jalannya lurus!"

Tiba-tiba, kabut yang tadinya menyelimuti hutan itu mulai bergerak. Kabut tersebut tidak lagi diam, melainkan seperti makhluk hidup yang bergerak melingkari mereka. Rasanya semakin menyesakkan, membuat pandangan mereka terhalang sepenuhnya.

"Kita terjebak!" teriak Dian, suaranya nyaris panik.

"Tenang! Kita bisa keluar," kata Dirga mencoba menenangkan, tapi suaranya sendiri terdengar gemetar.

Mereka kembali berjalan dengan tergesa-gesa, namun setiap langkah yang diambil seolah membawa mereka lebih dalam ke hutan, bukan mendekati jalan keluar. Pepohonan tampak lebih besar, lebih gelap, dan suara burung hutan serta binatang lain kini berubah menjadi hening yang mencekam.

Siska, yang berjalan di belakang, mendadak merasa ada sesuatu yang memegang bahunya. Ia menoleh cepat, dan di sanalah sosok hitam itu lagi, berdiri tepat di belakangnya, lebih dekat dari sebelumnya. Kali ini, ia melihatnya dengan jelas—tubuhnya tinggi dan kurus, dengan wajah samar-samar yang tampak seperti bayangan tanpa bentuk.

Siska tidak bisa bergerak, mulutnya membuka namun tidak ada suara yang keluar. Sosok itu mengulurkan tangan, menyentuh wajahnya dengan sentuhan dingin yang menusuk.

"Siska!" teriak Deni saat menyadari pacarnya tertinggal.

Namun, ketika dia menoleh, Siska sudah hilang. Menghilang dalam kabut tanpa jejak.

Pendaki Yang GanjilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang