Bab 16: Dalam Kegelapan

5 2 0
                                    


Hawa dingin semakin menekan dada Deni saat ia berlari mencari Siska, rasa panik mendorongnya untuk terus maju. Dia dan Bagus sudah beberapa kali berteriak memanggil nama Siska, tetapi kabut seolah menelan suara mereka. Rasa takut yang menyelimuti membuat langkahnya terasa semakin berat.

"Siska! Di mana kamu?!" teriak Deni, tetapi hanya keheningan yang menjawabnya.

Bagus yang berada di belakangnya berusaha menyusul. "Deni, jangan terlalu jauh! Kita bisa tersesat!"

"Gue gak peduli! Dia butuh kita!" Deni membalas, meskipun suara keraguan mulai muncul di dalam dirinya. Ia merasa ada sesuatu yang mengawasi mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar makhluk hutan.

Setelah beberapa menit berlari, mereka tiba di tempat yang tidak dikenali. Pepohonan tampak lebih besar dan menakutkan. Seakan-akan mereka berada dalam labirin yang tidak berujung. Deni menatap sekelilingnya dengan bingung. "Kita harus menemukan jalan kembali. Kita tidak bisa terus berputar seperti ini."

Tiba-tiba, suara jeritan kembali terdengar, lebih dekat dari sebelumnya. Deni merasa seolah itu suara Siska. "Siska!" teriaknya, berlari mengikuti suara itu.

Namun, setiap kali ia berlari, suara itu seolah menjauh. Kakinya terasa berat, tubuhnya dipenuhi rasa lelah dan putus asa. Bagus, yang mengikuti di belakang, mulai meragukan keputusan mereka. "Deni, kita harus berhenti! Kita tidak bisa terus berlari tanpa tujuan!"

Tetapi Deni tidak mendengar. Ia terus berlari ke arah suara, dan saat itulah dia merasakan sesuatu yang aneh—suara gemerisik di balik pohon, seolah ada sesuatu yang mengintai mereka dari kegelapan.

---

Di tempat lain, Fauzan, Siska, dan Widya mencoba mencari jalan keluar dari hutan yang semakin membingungkan. Rasa panik mulai merayap masuk ke dalam hati mereka, dan setiap langkah terasa semakin berat.

"Apa kita benar-benar bisa keluar dari sini?" tanya Widya, suaranya mulai bergetar.

"Kita harus terus bergerak," jawab Fauzan, berusaha menunjukkan kepercayaan diri meskipun hatinya sendiri berdebar kencang. "Siska, di mana kamu melihat sosok itu?"

"Dia... dia di belakangku, saat aku berusaha bersembunyi. Dia terlihat seperti... seperti makhluk dari mimpi buruk," kata Siska, suara merintih di ujung. "Aku... aku tidak tahu apa yang dia inginkan."

"Seka air matamu, Sis. Kita akan menemukan jalan keluar," ucap Fauzan, menatap ke arah yang tampak lebih cerah di antara pepohonan, seolah itu adalah harapan mereka.

Namun saat mereka berjalan, suara bisikan mulai terdengar. Tidak ada yang bisa mengerti apa yang dikatakan, tapi suara itu penuh dengan nada menyiksa. Itu seperti suara banyak orang berbicara bersamaan, menciptakan simfoni kesedihan yang mencekam.

"Apa itu?" Widya bertanya, wajahnya terlihat semakin pucat.

"Itu pasti hanya imajinasi kita. Kabut ini membuat kita merasa tidak nyaman," jawab Fauzan, berusaha menenangkan. Tetapi di dalam hatinya, ia juga merasa ada yang tidak beres.

---

Deni dan Bagus terus berjalan, mencoba menemukan jejak Siska, tetapi setiap langkah terasa semakin berat. Ketika mereka tiba di sebuah clearing kecil, Deni merasakan hawa dingin yang menyengat. Dia berhenti dan mengamati sekeliling. Di tengah clearing, ada semacam altar tua yang terbuat dari batu. Rumput di sekelilingnya tampak layu dan mengering.

"Ini aneh," kata Bagus, melangkah mendekati altar. "Kita harus pergi dari sini. Rasa-rasanya tempat ini nggak baik."

"Jangan sentuh apa pun di sini!" teriak Deni, tapi sudah terlambat. Bagus telah menempelkan tangan ke salah satu batu. Begitu ia menyentuhnya, cahaya kuning menyala dari altar, dan tiba-tiba suara jeritan itu muncul lagi, kali ini sangat jelas.

Pendaki Yang GanjilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang