9

37 3 4
                                    

Dengan pistol yang mereka ambil dari lelaki tadi, Destiny dan Sarah kini memulai babak akhir dari perjuangan mereka. Sarah, dengan hati-hati, menyelinap di balik semak-semak di luar ruangan, memegang pistol erat-erat, bersiap menghadapi apapun yang akan terjadi. Destiny, yang maju duluan, menguatkan tekadnya. Meski seluruh tubuhnya gemetar, ia tak punya pilihan. Ini adalah satu-satunya cara.

Destiny mengintip ke dalam ruangan. Di sana, Louis berdiri bersama Antonio . Jantungnya berdegup kencang, tapi sebelum ia sempat bereaksi, Sarah dari balik semak menembakkan pelurunya.

DOR!

Salah satu pria di ruangan itu jatuh seketika_antionio, darah mengalir dari kepalanya. Tapi di tengah kebingungan itu, Louis dengan cepat melangkah ke arah Destiny. Sebelum Destiny sempat lari, tangan kuat Louis sudah mencengkeram pergelangan tangannya, menariknya dengan kasar masuk ke dalam ruangan.

"Akhirnya kita bertemu lagi, Destiny," ucap Louis dengan nada dingin, penuh obsesi. Matanya menatap tajam ke arah Destiny, penuh kemarahan dan nafsu yang mencekam.

Destiny mencoba meronta, mencoba melawan dengan sisa tenaga yang ia miliki, la menendang, memukul, tapi Louis jauh lebih kuat. la memutar tubuh Destiny dengan mudah, menjatuhkan gadis itu ke lantai dengan keras. Tubuh Destiny terhentak ke lantai, dan sakit luar biasa menjalar dari punggung hingga kepalanya. la berusaha bangkit, tapi Louis sudah menindihnya, menahannya di tempat.

"Jangan melawan, kau takkan menang melawanku," desis Louis di telinganya, suaranya dingin dan menakutkan. Tangan kasarnya menekan tubuh Destiny, membuatnya tak bisa bergerak.

Di saat itu, ingatan Destiny
menyeruak. Kilasan memori mengabur masuk ke dalam benaknya. la melihat dirinya sendiri, beberapa tahun lalu, di tempat yang sama. Malam di mana ia pertama kali menjadi korban Louis. la teringat tubuhnya yang tak berdaya, terikat, disakiti tanpa ampun. Isak tangisnya yang tak didengar, teriakan yang diabaikan. Rasa takut dan malu membanjiri hatinya sekali lagi, membuat tubuhnya gemetar hebat.

Wajah Louis di atasnya, senyumnya yang licik dan penuh kemenangan, mengingatkannya pada malam itu. Malam pertama di mana Destiny kehilangan kendali atas hidupnya. Malam di mana ia menjadi mainan di tangan Louis dan teman-temannya.

"Tidak..." Destiny berbisik, napasnya tersengal. "Bukan lagi... Aku tidak akan jadi kelinci merahmu lagi!"

Amarahnya meledak bersama rasa sakitnya. Destiny menatap mata Louis dengan penuh kebencian, tubuhnya bergetar hebat, bukan hanya karena ketakutan, tapi juga karena dendam yang selama ini dipendamnya.

Dalam sekejap, ia mengumpulkan sisa tenaga yang tersisa, dan dengan segala kekuatan, Destiny mendorong Louis dengan kakinya, mencoba melepaskan diri. Namun, Louis, dengan mudahnya menangkap kembali Destiny dan membantingnya lagi ke lantai. Tubuh Destiny kembali terhentak keras, kali ini lebih kuat, membuat kepalanya terasa berputar.

Ingatan mengalir tanpa henti, mengoyak-oyak kewarasannya. Di saat yang bersamaan, rasa putus asa dan kemarahan semakin menumpuk di dadanya. Destiny tahu bahwa jika ia tidak melawan sekarang, semua ini akan berakhir seperti dulu. Louis akan menang lagi, dan ia akan kembali menjadi korban.

Saat Louis semakin mendekat, Destiny mulai merasa dunia di sekitarnya berputar, kabur antara kenyataan dan kenangan. Napasnya semakin berat, dan di tengah kekacauan yang melanda pikirannya, bayangan itu akhirnya muncul dengan jelas. Gambaran samar yang sejak tadi menghantui benaknya kini menjadi nyata: kelinci merah.

Itu bukan sekadar kiasan. Destiny menatap kuku-kukunya yang bergetar, mengingatnya dengan jelas. Gambar kelinci merah yang terukir di sana, nail art yang ia miliki saat pertama kali datang ke pulau ini. Seketika, segalanya terkuak. Kelinci merah adalah tanda, sebuah simbol yang tak disadarinya. Wanita tua itu pernah menyebutkannya, memberi petunjuk yang selama ini tersembunyi dalam ingatannya.

life in a cageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang