5. Jangan Ya Dek

497 66 2
                                    

"Pagi mih," sapa Paul sambil mengoleskan selai ke rotinya.

Mamih menoleh, saking fokus mempersiapkan berkas-berkas ia tak menyadari kehadiran putra tunggalnya yang sudah duduk manis dimeja makan menanti kedatangannya. "Eh pagi sayang,"

Ia menghampirinya, "Uang bulanan kamu masih ada gak? Mamih transfer ya," katanya sembari mengeluarkan ponsel.

"Sarapan dulu mih," ajak Paul menghiraukan perkataan sang ibu.

"Nanti aja dikantor," tolaknya, ia melihat jam yang melingkar ditangannya. "Kamu sekolah yang rajin ya, mamih pergi dulu,"

Wanita itu memeluk singkat Paul dan beranjak pergi dengan terburu-buru.

Paul menghela napas panjang seraya memakan roti yang dibuatnya, "Hari-hari begini mulu." gumamnya.

Jika saja ia terlahir dari sebuah keluarga yang penuh kehangatan, mungkin sekarang ia tak sarapan sendirian. Bukan Paul tak mengerti dengan keadaan sang ibu sebagai single mom tapi ia juga butuh cinta kasih dari ibunya.

***

Hampir sebagian siswa sudah menginjakkan kakinya disekolah bersamaan dengan matahari yang mulai meninggi, kelas semakin ramai dengan obrolan yang terdengar saling sahut menyahut.

"Pelajaran apa sekarang?"

"Matematika," jawab Paul, seketika ia teringat sesuatu. "Duh Ron,"

Roni menatap aneh, "Seharusnya gue yang ngeluh Powl!" tuturnya.

"Gue setiap liat bu Sari suka keinget apaan gitu," jelasnya bercerita.

"Inget waktu lo ngechat Nabila kan, ngaku lu?!"

"Gausah diperjelas!" ketus Paul membuat Roni tertawa puas.

"Mending boloslah kuy,"

"Urusan begituan gausah ngajak-ngajak gue."

"Katanya lu malu sama kejadian kemarin, gimana sih?"

Paul membalas tatapan teman sebangkunya, "Malu bukan berarti gue gamau masuk pelajarannya."

"Iye dah yang sering ikut olimpiade matematika, tau gue mah,"

"Lagian lu udah kelas 11 bukannya tobat juga," kata Paul heran.

Kelakuan Roni semakin kesini semakin menjadi-jadi, sebagai sahabat yang sudah lama bersama sejak dibangku sekolah dasar berbagai cara sudah ia lakukan untuk menghentikan Roni, bukannya berhasil malah ia yang terbawa arus lelaki itu.

"Putih abu-abu itu harus dinikmatin Powl, ntar lu udah lulus nyesel dah gak bisa kayak gue,"

Selalu saja jawabannya seperti itu.

"Kenapa gue harus nyesel?" balas Paul meladeni.

"Karena waktu lu cuma bukuan doang, kali-kali enjoy your life bro."

Paul menggelengkan kepala, "Jalan pikir lo emang gak bisa ditebak Ron,"

Roni terkekeh, "Jadi mau ikut kagak?"

"Gak, cukup gue telat mulu bareng lu."

"Oke, gak masalah gue pergi sendiri aja." ia bangkit berdiri, "Selamat berlier-lier ria," ujarnya menepuk bahu Paul lalu pergi dari sana tak peduli dengan bel masuk yang akan berbunyi sebentar lagi.

Paul tersenyum smirk, tanpa Roni tahu ia punya rencana lain, ia mengeluarkan ponselnya.

***

Roni berjalan santai menuju belakang sekolah, seperti biasa ia akan memanjat dinding lagi. "Si Paul diajakin seneng-seneng malah gak mau," gerutunya.

Namun saat sampai disana, seseorang yang sangat ia kenali berdiri dengan tangan dilipat didada seolah sudah mengetahui rencananya. "Mau kemana?"

PANAROMATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang