Lupa bahwa lupakannya tak mudah
Tapi itu senyuman yang kusuka
Aku pernah begitu mencintainya. Menyukainya. Mengaguminya. Segala tentangnya yang biasa saja, di mataku tampak begitu istimewa. Presensinya selalu menjadi atensi utama. Absensinya kerap membuat aku gelisah. Namun, mereka bilang, pernah adalah kata yang sama artinya dengan tidak lagi.
Kupikir juga begitu.
Kupikir, melihatnya kembali setelah sekian lama asing tidak akan mengundang rindu. Kupikir, caranya tersenyum tidak lagi terlihat menggemaskan di mataku. Kupikir, kebiasaannya memukul bahu lawan bicara jika tengah tertawa tidak lagi mengirimkan perasaan lain di hatiku. Kupikir dia bukan siapa-siapa lagi untukku, selayaknya aku yang tidak pernah jadi siapa-siapa untuknya.
Namun, satu malam di hari Rabu. Bermain kartu, pembicaraan seru, senyumnya yang lucu sekaligus candu membawaku kembali pada perasaan sialan itu. Perasaan sendu yang tidak perlu. Canda yang semu, pilu yang ambigu.
"How's life?" tanyaku. Meski pertanyaan sebenarnya yang ingin kutanyakan adalah How's life without me?
Rencana pengunduran diri dari pekerjaan, kondisi kesehatan dan keuangan, rencana karir ke depan, hingga topik yang tidak ingin kudengarkan; perempuan. Banyak kabar menyapa seiring pertemuan kita yang berjarak terlampau lama. Kuharap waktu tak lekas beranjak, sebab aku menginginkannya tinggal sedikit lebih lama. Melupakan segala kekesalanku sebab perkataannya. Mengesampingkan setiap keresahanku dalam keterdiamannya. Beragam pertanyaanku yang hanya dijawab entah. Sialan. Sudah sebegitunya tapi hatiku tetap hanya menginginkan dia?
Bodoh!
Aku pernah begitu mencintainya.
Apabila jatuh cinta padanya adalah tindakan terbodoh yang pernah kulakukan. Kurasa aku telah menjadi bodoh sekali lagi.
Sepertinya sama
Tatapan khas matanya masih yang lama
Kau ajak bicara
Seketika kembali kujatuh cinta
KAMU SEDANG MEMBACA
Spotifict✓
Kısa Hikaye"Why do you always listen to music so loud?" "To silence the loud thoughts inside me."