Chapter 17: Kencan Kedua

67 3 2
                                    

Bunyi notifikasi pesan WhatsApp memenuhi indra pendengaranku. Aku menarik selimut yang melorot sampai lutut. Menangkupkannya ke sekujur tubuhku hingga kepala. Sayang itu tak bertahan hingga sepuluh detik, rasa pengap memaksaku membukanya kembali.

Ponsel kembali berbunyi. Kali ini kupastikan itu nada untuk panggilan telepon. Nada dering untuk panggilan telepon seluler maupun panggilan voice call melalui aplikasi WhatsApp kubuat sama. Menurutku itu mempermudah telingaku untuk memilah mana yang mengandung urgensi. Terutama di saat otakku mengajak sel-sel tubuh untuk mager.

Aku membuka mata dan menoleh ke asal suara. Ponsel di atas nakas itu menyala pada bagian layarnya. Meski enggan, namun tanganku bersikeras untuk segera meraihnya. 'Bee', begitu tulisan di layar ponsel yang seketika terbaca olehku. Aku segera menekan dan menggeser ikon telepon berwarna hijau pada layar. Namun nada panggilan itu berhenti sebelum ikon telepon sepenuhnya tergeser ke atas.

Tulisan panggilan dari Bee menghilang. Kupikir sebaiknya aku menelpon balik. Sedetik berikutnya, muncul pop-up pesan WhatsApp pada layar bertuliskan "Evo: BANGUNNNNN!". Kemudian aku memilih membuka pesan WhatsApp dari Evo lebih dulu.

6 Unread Messages

Evo: El, semalem kamu yang anter aku pulang?

Evo: El, woi... El

Evo: El?????

Evo: Mobilku dimana?

Evo: El bangun.

Evo: WOI WOI WOI

Evo: BANGUNNNNNNN!

Aku tertawa geli membacanya. Itu karena aku bisa membayangkan bagaimana ekspresi Evo saat ini.

Pesan WhatsApp:

Elliana: MAKANYA JANGAN MABUK AJA KERJAANNYA!

Elliana: Nyiksa orang tau!

Elliana: Mobil masih di vila.

Aku bangkit dari posisi rebahan. Kepalaku sedikit tersentak, mungkin aliran darah menuju ke otak tiba-tiba terpengaruh gravitasi. Kuletakkan saja ponsel di kasur dengan gerakan sedikit melemparnya. Kemudian mengacak-acak rambutku sambil sesekali menjambaknya agar menimbulkan efek seperti dipijat. Punggungku ingin sekali menghenyakkan diri ke kasur. Namun sistem pencernaan agaknya tak sependapat.

Aku memilih untuk melakukan ritual mandi Ratu. Maksudnya, kegiatan bebersih badan ala ratu-ratu zaman dulu. Mulai dari luluran, maskeran, perawatan rambut lengkap, dan tetek bengek rumit khas cewek-cewek. Kupikir mumpung weekend. Sabtu dan Minggu adalah pilihan waktu yang tepat untuk me-time. Kebetulan akhir-akhir ini orderan event belum terlalu banyak, sehingga tim produksi tak memberiku jadwal nyeper buat tambahan jajan.

Tok! Tok! Tok! 

Terdengar ketukan dari pintu kamarku. "Siapa?" sahutku sambil meninggalkan pintu kamar mandi. Namun tak ada sahutan. Aku berjalan menuju pintu dengan rambut yang masih terbalut handuk. Untuk berjaga-jaga, aku memilih mengintip dari jendela. Di sana, kutemukan sosok Biyan sedang berdiri di balik pintu kamarku. Laki-laki itu melambaikan tangan padaku saat aku menyapanya.

"Hai, mau ke mana?" sapaku lagi begitu pintu kamar telah kubuka, "rapi jali amat, Pak bos." 

Biyan yang mengenakan setelan kasual rapi itu tersenyum. Celana jeans lembut dipadu dengan kaos berkerah dengan warna baby pink membuatnya tampak lebih muda dari usianya yang seharusnya sama denganku. Senyumnya tetap manis, namun ada yang menghilang dari dirinya.

Ramalan JodohTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang