One

80 11 7
                                    

Hiashi Hyuuga, sang Ketua Hyuuga Group yang dikenal dingin dan tak kenal ampun, duduk termenung di balik meja kerjanya yang megah di lantai 78 Hyuuga HQ Tower. Pemandangan kota Tokyo yang gemerlap terlihat jelas dari balik dinding kaca, namun pikirannya jauh dari keramaian kota itu. Mata tajamnya, yang biasanya memancarkan wibawa dan ketegasan, kini tampak berkilat-kilat dengan sesuatu yang lebih dalam—perasaan yang jarang sekali muncul dalam dirinya.

Ia teringat kembali pada peristiwa pagi tadi di Rumah Sakit Nasional Tokyo, tempat ia secara tak sengaja melihat putri bungsunya, Hinata. Sudah hampir dua tahun sejak ia mengusirnya dari keluarga. Keputusan itu diambil tanpa ragu dan penuh ketegasan, sebuah langkah yang menurutnya terbaik bagi nama besar Hyuuga. Hinata, menurutnya, tidak memiliki kualitas yang dibutuhkan untuk menjadi pewaris Hyuuga Group atau memang kebencian pada putrinya itu sangat besar. Namun, bayangan Hinata yang dilihatnya tadi pagi, dengan tubuh yang lebih kurus dan wajah pucat-cantik yang semakin menyerupai mendiang istrinya, menorehkan luka kecil di hatinya—sebuah rasa ganjil yang ia tolak untuk diakui.

Dia menggerakkan tangannya dengan cepat, menekan tombol interkom di mejanya. "Panggilkan Kou," katanya singkat, suaranya datar namun penuh perintah.

Sekitar lima menit kemudian, Kou, asisten pribadi yang paling dipercayainya, mengetuk pintu dan masuk dengan penuh hormat. Pria paruh baya itu berdiri tegak di hadapan Hiashi, menunggu perintah tanpa berani bicara lebih dahulu.

"Anda memanggil saya, Tuan?" tanya Kou sopan.

Hiashi hanya menatapnya sekilas sebelum kembali memandangi pemandangan Tokyo yang menakjubkan dari balik jendela. "Cari tahu di mana Hinata berada. Bawa dia ke hadapanku secepatnya," ucap Hiashi dingin.

Mendengar perintah itu, Kou merasa dadanya bergejolak. Mata pria itu bergetar sedikit, tetapi ia mencoba tetap tenang. Sebagai satu-satunya orang di kediaman Hyuuga yang masih peduli pada Hinata, Kou tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Hiashi selalu bersikap keras kepada Hinata, tetapi Kou menyaksikan bagaimana gadis itu selalu berusaha untuk memenuhi harapan ayahnya, meski selalu gagal di mata Hiashi.

Dengan suara yang hati-hati, Kou berkata, "Maafkan saya, Tuan... Kumohon agar Nona Hinata tetap dalam kebahagiaannya."

Hiashi menoleh dengan tatapan tajam, mengunci pandangan Kou. "Apa maksudmu, Kou? Kau menentang perintahku?" suaranya rendah, namun penuh ancaman.

Kou menunduk sejenak, namun ia tahu ia harus mengatakan sesuatu. "Bukan bermaksud menentang, Tuan. Tetapi apa yang ingin Anda lakukan pada Nona Hinata? Kumohon, setidaknya biarkan dia hidup damai. Setelah apa yang terjadi, izinkan dia untuk menemukan kebahagiaannya sendiri, jauh dari kita."

Hiashi merasa darahnya mendidih. "Apa maksudmu? Kau pikir aku akan menyiksanya?" bentaknya. Baginya, Hinata hanyalah seorang yang lemah, tidak berguna, dan tidak pantas menyandang nama besar Hyuuga.

Namun, Kou tidak mundur. Baginya, Hinata sudah seperti putrinya sendiri, yang ia lihat tumbuh dengan hati yang lembut, meskipun selalu hidup di bawah bayang-bayang ekspektasi keluarganya. "Tuan," Kou memberanikan diri menatap langsung ke mata Hiashi, "Bukankah selama ini kehidupan Nona Hinata di keluarga ini memang penuh penderitaan? Bukankah begitu?"

Hiashi langsung berdiri, tatapannya dipenuhi amarah. "Jaga ucapanmu, Kou! Jangan kau bicara seolah kau lebih tahu dari aku tentang keluargaku!" serunya, dengan nada yang mengguncang ruang kerja besar itu. Namun di balik kemarahannya, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya—sebuah perasaan yang tak ia mengerti.

Kou menelan ludah, namun ia tetap pada pendiriannya. "Tuan, saya hanya ingin tahu apa yang sebenarnya Anda inginkan dari Nona Hinata? Setelah semua yang telah terjadi, apakah Anda tidak pernah berpikir bahwa mungkin, mungkin saja... Nona Hinata tidak sepantasnya diperlakukan seperti itu?"

BROKENWhere stories live. Discover now