Two

34 7 9
                                    

Hinata terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Mimpi buruk itu kembali menghantui malam-malamnya, mengingatkan akan masa lalu yang selalu ingin ia lupakan. Tangan kanannya secara refleks meraba telinga kirinya yang berdengung keras, mengingatkan pada tragedi yang merenggut sebagian pendengarannya. Di sudut matanya, air mata perlahan jatuh, meresapi bantal yang telah menjadi saksi bisu malam-malam penuh duka.

"Hinata, kau harus kuat," bisik Hinata kepada dirinya sendiri, mencoba menenangkan gejolak emosi yang berkecamuk di dalam dadanya.

Namun, semakin ia mencoba untuk tenang, bayangan masa lalu itu semakin kuat menghimpitnya. Ia teringat kembali pada hari yang telah mengubah hidupnya empat tahun lalu, ketika keluarga yang seharusnya melindungi dan menyayanginya justru memaksanya untuk mendonorkan ginjalnya demi kehidupan nyaman saudari angkatnya, Sakura.

***
Flashback: Empat Tahun Lalu

Di ruang keluarga besar rumah Hyuuga, suasana terasa tegang. Hinata berdiri di sudut ruangan, tubuhnya gemetar sementara matanya tertuju pada ayahnya, Hiashi Hyuuga, yang duduk di kursi utama dengan ekspresi datar.

"Biarkan Hinata mendonorkan ginjalnya kepada Sakura," ujar Hiashi tanpa sedikitpun emosi.

Kou, pelayan setia keluarga Hyuuga, memandang tuannya dengan tatapan bingung. "Bagaimana mungkin, Tuan? Sakura akan tetap aman dan hidup dengan satu ginjal," ucapnya mencoba memberi pemahaman.

"Bukan hanya aman, tetapi juga bisa hidup seperti biasa setelah prosedur pengangkatan ginjal yang rusak," tambah Prof. Orochimaru, dokter keluarga yang menangani kasus ini.

"Tapi... Sakura akan kesakitan, bukan?" tanya Neji, anak kedua Hiashi, dengan nada yang agak ragu.

Orochimaru mengangguk pelan. "Itu tergantung pada proses penyembuhan Nona Sakura. Mungkin tidak akan terlalu sakit, tetapi akan ada masa pemulihan yang panjang untuk beradaptasi dengan satu ginjal."

Tanpa banyak berpikir, Neji mengarahkan pandangannya kepada ayahnya. "Lalu, lakukan seperti yang Ayah katakan."

Kou, yang mendengarkan pembicaraan itu, hanya bisa diam dengan hati yang bergetar. Bagaimana bisa sebuah keluarga memperlakukan putri kandungnya sendiri seperti ini? Ia ingin sekali berteriak dan membela Hinata, namun posisinya sebagai pelayan membuatnya tak berdaya.

"Lakukan saja, Prof!" ujar Toneri, anak sulung Hiashi, yang sejak tadi hanya diam mengamati.

Suara Toneri yang dingin dan tegas seolah menjadi paku terakhir yang menghancurkan perlawanan Hinata.

"T-tidak! Aku tidak mau!" jerit Hinata, suaranya bergetar antara takut dan marah. Hatinya tak mampu menerima kenyataan bahwa ia dipaksa mendonorkan salah satu organnya demi Sakura, yang selalu mendapat perhatian lebih dari keluarganya.

"Bergunalah, paling tidak kau berguna dalam hidup ini," ujar Neji dengan nada dingin yang menusuk hati Hinata.

Hinata terdiam, air mata mulai membasahi wajahnya. Kata-kata Neji seperti pisau tajam yang merobek-robek harga dirinya. Setelah kehilangan ibu yang begitu ia cintai, ia selalu diperlakukan sebagai beban dalam keluarga. Bahkan, ia disalahkan atas kematian ibunya, sebuah tragedi yang membuatnya kehilangan pendengaran di sebelah telinga kirinya.

"Bersiaplah, besok adalah jadwal prosedur donor," kata Toneri tanpa perasaan sebelum meninggalkan ruangan.

Hinata hanya bisa menangis, merasakan betapa tidak berdayanya ia dalam menghadapi kehendak keluarga yang begitu dingin dan tak berperasaan.

BROKENWhere stories live. Discover now