19. Terror

14 3 0
                                    

_____________________________

"Jangan menilai orang hanya dari tampangnya saja, karena yang lo pikir teman, bisa jadi pembunuh yang paling kejam."

-Kaisar Fandra Altair.

_____________________________

19. Terror.

•HAPPY READING•

*****

Hari sudah malam, bahkan Hendry dan Audya pun tak kunjung pulang.

Saat ini, Assenna tengah mengerjakan tugas sekolahnya di ruang tamu sembari mendengarkan musik menggunakan headset. Seluruh penghuni rumah berada di kamarnya masing-masing termasuk Vano. Entahlah, ada yang aneh dengan anak itu, tumben-tumben sekali dia mau diam di rumah tanpa bepergian keluar malam-malam begini. Biasa lah, anak motor.

Ketukan di pintu depan menyerobot atensinya pada buku-buku di depannya. Gadis itu berjalan kearah pintu depan bermaksud membukakan pintu. Tapi siapa yang mau bertamu malam-malam begini?

Masalahnya, tak hanya ketukan, namun lebih ke suara pukulan serta goresan di pintu. Benar-benar menyebalkan!

Sampai Assenna membuka pintu, alisnya bertaut kala tak mendapati seorangpun di hadapannya. Gadis itu menggaruk pelipisnya tak gatal. "Siapa, sih yang iseng? Nggak ada kerjaan aja."

Gerakan Assenna saat hendak masuk tertahan ketika mendapati hal janggal menyenggol ujung kakinya. Terdapat kotak hitam dan ... bercak darah? Tidak banyak, hanya saja atensinya terganggu kala merasa ada bau busuk dari kotak itu. Penasaran? Tentu, gadis itu perlahan mengambil kotak di depannya, membukanya dan terkejut kala mendapati sebuah kepala kelinci dengan pisau berlumuran darah tertancap jelas di sana.

Kakinya gemetar, dengan cekatan gadis itu melempar kotak hitam tersebut kebawah dengan teriakan yang memanggil ketiga Kakaknya turut terpontang-panting turun menghampirinya.

"Apa? Kenapa?!" tanya Vino panik kalang kabut kala mendapati adiknya beringsut dengan tubuh bergetar

"I-itu ..." Assenna tak kuasa menahan takut dan tangis, tubuh mungil itu melemas. Darah, hal yang paling gadis itu benci sejak dulu. Sekarang seolah dengan sengaja ada orang yang mengiriminya, parahnya lagi kepala kelinci dengan pisau? Apa dia sudah gila?

"Ini ... Ada surat," mata Vano mengarah pada surat yang tentu juga sudah dibaluri bercak darah anyir.

_____________________________

Wanna play a game with me?

-A.

_____________________________

Kening Vano berkerut, apa maksud dari surat misterius ini?

Rahang Arsen mengeras. Ini pasti bukan iseng, memang peneror. Tapi siapa?

"Ini pasti gara-gara lo, kan?!" sewot Vino mencengkram kerah Vano kuat-kuat. Feeling cowok itu menebak, Vano-lah yang salah karena anak itu anggota geng yang sudah pasti punya banyak musuh. Awalnya Vino biasa saja, tapi jika menyangkut Adiknya Senna, tentu ia takkan tinggal diam.

"Kok gue?!"

"Ya geng sialan lo itu, lah!"

"Kalian berhenti berantem dulu bisa nggak, sih?! Memperkeruh keadaan tau nggak?!" bentak Arsen menatap nyalang kedua Adik kembarnya, tangannya dengan segera menuntun Assenna untuk masuk ke rumah agar perasaannya bisa jauh lebih tenang.

ARSEN - On GoingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang