Saatnya tiba bagi tim kami untuk tampil. Saya melangkah ke depan panggung dengan percaya diri, meski di dalam hati masih ada rasa keraguan. “Halo, dewan juri. Saya Renjiro dan tim saya, Kayla serta Tari, kami siap mempresentasikan inovasi kami untuk Local Sour,” saya memulai, berusaha menyuntikkan semangat dalam suara saya.
Tim kami memiliki energi yang berbeda. Kayla, yang memancarkan karisma, menjelaskan solusi kami dengan semangat. "Kami memanfaatkan teknologi modern untuk meningkatkan efisiensi kafe, termasuk penggunaan perangkat lunak akuntansi yang ramah pengguna," katanya, menarik perhatian juri dengan intonasi yang kuat.
Saya melihat juri memperhatikan dengan serius, terutama Jaya Wira yang tampak tertarik. “Apa yang membedakan inovasi kalian dari solusi dari Tim Clarissa?” tanya Jaya, suaranya tegas.
Kami saling bertukar pandang. “Kami akan bekerja sama dengan komunitas lokal untuk mendapatkan umpan balik langsung,” saya menjawab, suara saya berusaha terdengar tenang. "Kami percaya kolaborasi akan memberikan solusi yang lebih tepat."
Ketegangan dalam presentasi meningkat saat juri mulai mengajukan pertanyaan kritis. “Jika solusi ini tidak berhasil, apa langkah alternatif yang akan kalian ambil?” Jaya menantang.
Saya menatap tim, melihat Kayla dan Tari siap menjawab. “Kami sudah menyiapkan rencana cadangan yang mencakup program pelatihan untuk staf dan penyesuaian menu berdasarkan umpan balik pelanggan,” Tari menambahkan, dengan percaya diri.
“Bagaimana dengan risiko pasar? Bagaimana jika pelanggan tidak menyukai inovasi ini?” tanya Nia, juri lainnya, mengalihkan perhatian ke arah kami.
“Karena itulah kami akan melakukan riset pasar terlebih dahulu. Kami akan mengumpulkan data sebelum meluncurkan perubahan besar,” saya menjelaskan, berusaha meyakinkan mereka bahwa kami siap menghadapi tantangan.
Setelah presentasi selesai, Laura kembali ke panggung, membawa aura ketegangan yang lebih besar. “Sekarang, kami harus memutuskan siapa yang akan tereliminasi,” katanya, suaranya tegas namun penuh empati.
“Karena tim lain juga akan dinilai, kami akan memanggil tim Clarissa ke panggung,” lanjutnya. Dengan perasaan campur aduk, saya melihat Clarissa dan timnya melangkah maju, wajah mereka menampakkan kelegaan sekaligus ketegangan.
Ketika seluruh peserta berkumpul, Laura meminta kami untuk memberikan saran. “Kami ingin kalian menilai tim masing-masing. Siapa yang harus dieliminasi?” ujarnya.
Kami berdiri di panggung, dikelilingi sorotan kamera. Kayla langsung bersuara, “Dari penampilan mereka, saya rasa Ryan kurang berkontribusi. Tim Clarissa berisiko jika dia tetap ada,” tatapannya tajam.
Namun, saat itu, Clarissa membela Kim. “Tunggu sebentar! Ryan mungkin terlihat tidak terlalu terlibat, tetapi dia adalah bagian penting dari tim kami. Dia berusaha keras, dan kami semua menghadapi tekanan yang sama,” Clarissa menjawab, suaranya penuh semangat.
“Dia juga memiliki ide yang sangat kreatif, yang mungkin tidak sempat dia sampaikan saat presentasi,” sambung Arif, salah satu anggota tim Clarissa. “Kami semua tahu betapa sulitnya situasi ini.”
Tari menambahkan, “Kita semua berharap yang terbaik untuk setiap orang, tetapi kita perlu melihat kinerja nyata.”
“Saya setuju, tapi kita tidak bisa melupakan usaha yang telah dilakukan Ryan. Dia memiliki potensi,” Clarissa bersikeras, tatapannya tajam menantang.
Saya merasakan beratnya suasana itu, terutama saat melihat ekspresi Ryan yang hancur. “Kita harus jujur. Ini kompetisi yang ketat. Semua orang bersaing dengan sungguh-sungguh. Kita tidak bisa membiarkan kelemahan di dalam tim,” saya setuju, suara saya rendah.
“Namun, keputusan akhir tetap ada di tangan juri,” Kayla mengingatkan, nada skeptisnya mengisi ruang.
Suasana semakin tegang, dengan kamera merekam setiap detil. Semua tim memberikan pendapat, tetapi suara yang paling kuat adalah keinginan untuk mempertimbangkan Ryan. Akhirnya, Laura menginstruksikan semua tim untuk kembali ke tempat mereka.
Setelah jeda, juri mulai mengumumkan keputusan mereka. Laura berdiri di depan dengan tampang serius. “Kami telah mendengarkan presentasi dan saran dari masing-masing tim. Sekarang, kami harus memutuskan siapa yang harus tereliminasi.”
Saat nama Ryan disebut sebagai yang tereliminasi, saya melihat wajahnya merona merah karena kesedihan. “Selamat tinggal, teman-teman,” katanya, suaranya berat penuh emosi.
Ryan berusaha tersenyum, tetapi air mata mengalir di pipinya. “Saya mengerti. Terima kasih atas dukungannya,” ujarnya, suaranya bergetar.
***
Setelah pengumuman, saya kembali ke hotel dengan perasaan campur aduk. Setiap langkah terasa berat, seolah saya mengangkut beban yang tak tertahankan. Di dalam kamar, saya teringat pada kejadian setelah proses syuting tadi.
Sebelum Ryan pergi, dia mendekati Clarissa dengan tatapan penuh emosi. Saya melihat momen itu dengan rasa cemburu yang tak terduga.
Kenapa saya merasa tidak nyaman melihat mereka berdua? Seolah-olah ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan. Saya menahan diri untuk tidak menunjukkan ekspresi, tetapi di dalam hati, saya tidak bisa menahan pikiran negatif yang menjalar.
Tiba-tiba, pintu kamar saya diketuk. Saya membuka pintu dan menemukan Arif berdiri di depan dengan ekspresi serius.
“Renjiro, ada hal penting yang mau gua bahas sama lo,” katanya, suaranya tegas.
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
BEST IN CLASS (SEGERA TERBIT)
RomanceRenjiro Saputra, pemuda blasteran Jepang dan Indonesia yang sangat menyukai game dan bercita-cita memiliki sekolah game sendiri, namun selalu menghadapi tekanan dari ayahnya yang menginginkan Renjiro untuk menjadi seorang dokter. Di sisi lain, ada C...