"Teruslah berjuang, usahakan mimpi itu."
________
"Kak Kavi?"
Gwen mematung di tempatnya. Masih tidak percaya dengan yang ia lihat sekarang. Pasalnya, orang yang ia panggil "Kak kavi" harusnya masih berada di Sydney, Australia dan akan pulang minggu depan. Lalu, mengapa sekarang sudah berada di rumahnya?
"Iya, ini kakak, ga usah kaget begitu," sahut orang yang bernama Kavi itu.
Gwen mengerjap, tersadar. Kemudian tersenyum senang. Berlari pelan menuju kakaknya. Mendekap raga itu dengan hangat. Menyalurkan perasaan rindu yang mendalam.
Meskipun Gwen sering dibandingkan dengan kakaknya ini, Gwen masih tetap menyayanginya. Bagaimanapun, laki-laki di depannya ini masih memiliki peran sebagai kakak padanya. Kakaknya tidak jahat, yang jahat hanya orang tuanya.
"Kangen kakak," lirih Gwen.
Kavi membalas dekapan Gwen dengan tulus. Mengelus-elus rambut sang adek pelan. Senyumnya terlihat sangat tulus. Perasaan hangat menyelimuti keduanya.
"Kakak juga,"
Gwen merasakan gejolak bahagia begitu mendengar ucapan kakaknya. Entah mengapa, perasaan bahagia itu selalu muncul begitu ia berada di dekat Kavi. Perasaan hangat yang belum pernah ia rasakan saat bersama orang tuanya.
Laki-laki dalam dekapannya ini, Gwen tidak dapat membencinya. Seberapa banyak orang yang membandingkan dirinya dengan kakaknya ia tetap tidak bisa membencinya. Sekeras apapun ia mencoba, hasilnya ia akan tetap kembali pada kakak laki-lakinya.
"Gimana hari-hari kamu tanpa kakak?" tanya Kavi masih dalam dekapan.
"Berat," jawab Gwen singkat dengan nada pelan.
Dekapan dilepas perlahan oleh Kavi. Menatap paras indah adeknya. Kavi dapat melihat kesedihan yang tersimpan di dalamnya. Perasaan sedih yang tidak dapat dijabarkan.
Kavi tersenyum lembut pada adeknya.
"Mau jalan-jalan bareng kakak?"
Gwen mengangguk antusias. Sudah lama ia tidak jalan-jalan bersama kakaknya. Terakhir kali mungkin dua bulan sebelum kakaknya berangkat kuliah di Sydney, sekitar 2 tahun yang lalu. Setelahnya, kakaknya pulang hanya untuk beristirahat. Gwen juga tidak berani untuk mengganggu.
"Siap-siap sana, kakak manasin mobil dulu."
Kavi hendak beranjak dari posisinya, ingin keluar untuk memanaskan mobilnya. Namun, langkahnya terhenti karena sang adek menarik pelan lengannya. Kavi menoleh ke belakang tatapan heran, meminta penjelasan.
"Gwen ga bisa naik mobil, kak, kita pakai motor aja, ya?" bujuk Gwen.
Kavi terkekeh pelan. Ia lupa jika adeknya naik mobil, Gwen akan merasa mual dan muntah, sehingga adeknya itu tidak dapat menikmati perjalanan.
"Iya, Gwen. Maaf, ya? Kakak lupa kalau kamu ga bisa naik mobil," ujar Kavi.
"Gapapa, kak, Gwen ga masalah," timpal Gwen.
Kavi kemudian berjalan pelan menuju pintu rumah. Mengelus pelan rambut adeknya.
Gwen juga berbalik. Bersiap untuk pergi bersama sang kakak. Ia berlari kecil agar cepat sampai di kamarnya. Memilih pakaian yang cocok untuk ia pakai.
Sepuluh menit bersiap-siap, Gwen akhirnya sudah selesai. Ia beranjak keluar dari kamarnya. Menghampiri kakaknya yang sudah menunggu di bawah.
Kavi melihat adeknya yang dibalut dengan kemeja putih dipadukan dengan vest pink juga celana jeans-nya. Rambutnya ia biarkan tergerai lurus. Dihiasi dengan jepit berwarna pink di rambutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Gwen's Dream [Sudah Terbit]
Roman pour AdolescentsGwyneth Riuzi, yang akrab disapa Gwen adalah seorang gadis yang memiliki bakat dalam dunia menari. Namun, ayahnya tidak merestui dirinya untuk menjadi penari mahir. Ayahnya sering kali melontarkan kalimat-kalimat menusuk mengenai hal yang ia sukai...